Selasa, 06 Oktober 2015

SIKAP MENERIMA KEKALAHAN DENGAN LEGOWO


Mendidik anak  menjadi pribadi yang bertanggung jawab 
atas kekalahan/kegagalan.


 
             “Kekalahan bagi beberapa orang merupakan akhir dari dunia,                  namun bagi orang yang memiliki mental pemenang, 
kekalahan hanyalah sebuah penundaan sesaat dan menjadi waktu untuk mempersiapkan diri bagi kemenangan esok hari.
 Kekalahan  juga merupakan kesempatan untuk memberikan ucapan kemenangan bagi orang lain yang sedang mengalami kemenangan 
 tanpa ada kemarahan sedikitpun.”  


“Sebab tujuh kali orang benar jatuh, namun ia bangun kembali,                            tetapi orang fasik akan roboh dalam bencana.”
Amsal  24:16  - Salomo



Saat saya masih kecil (sekitar kelas 4 SD), saya sedang bermain kartu bergambar dengan kakak saya beserta teman-teman yang lain. Permainan kartu gambar sangat disukai oleh anak-anak saat itu. Kami saling bermain untuk memperoleh kartu gambar yang bagus-bagus dari teman yang kalah. Saat permainan berlangsung dengan seru, saya mengalami kekalahan dan karena merasa kalah, saya pulang dengan kemarahan.
Di saat saya hendak pulang, kakak saya tersenyum dan mengajak saya untuk tetap bermain. Namun, hal itu membuat saya menjadi jengkel dan marah, dalam kemarahan saya megambil batu kecil dan melemparkan ke arah kakak saya dan tepat mengenai kepala kakak saya....crass! Saat itu mengalir darah dari kepala kakak saya dan saya berlari meninggalkan kakak saya dan pulang ke rumah dengan ketakutan. Bisa ditebak apa yang terjadi dengan saya di ruma, saat orangtua saya tahu kalau saya telah melukai kakak saya karena saya tidak siap untuk menerima kekalahan dalam bermain (saya dihajar oleh papa saya).
Pernahkah anda mendengar kisah seorang ibu yang tiba-tiba datang ke sekolah anaknya dan marah-marah dihadapan para guru karena anaknya tidak menjadi juara di sekolah? Hal yang aneh namun itu yang terhadi. Harus diakui bahwa yang seringkali tidak siap menerima kekalahan adalah orangtua dan bukan anak. Hal ini disebabkan yang memiliki ambisi untuk mendapatkan rangking pertama adalah orangtua, anak hanya menjadi korban dari gengsi/sikap egois dari orangtua dan menurut saya perilaku orangtua seperti ini merupakan tindakan kekerasan pada anak.
Rheinald Kasali mengungkapkan bahwa seringkali potensi anak hanya  dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi buku dan catatan.[1] Tetapi itulah fakta, masih begitu banyak orangtua yang hanya mengukur kecerdasan anak dari nilai akademis, sementara pada diri anak masih memiliki kecerdasan yang lain di luar akademis, namun tidak tergali.
          Dorothy & Rachel Harris  dalam bukunya “Remaja belajar dari apa yang mereka alami” (2004) bahwa masa remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen. Mereka akan mencoba peran-peran yang berbeda dan menjalankan beragam aktivitas. Dan dalam prosesnya mereka akan mengalami kesuksesan dan kegagalan.[2] Sayangnya tidak semua orangtua siap menerima kekalahan atau kegagalan anak-anaknya. Anak menjadi frustasi dibawah tekanan orangtua yang menuntut mereka harus menang dan tidak boleh kalah, harus berhasil dan tidak boleh gagal. Kekalahan atau kegagalan bagi sebagian orang merupakan peristiwa yang sangat menakutkan dan memalukan, sementara bagi sebagian orang yang lain, kekalahan atau kegagalan merupakan bagian atau pelengkap dari sebuah kesuksesan.
Di tengah era kompetisi yang sangat sengit sekarang ini, banyak cara yang dilegalkan demi meraih keberhasilan dan kemenangan. Dari cara-cara yang curang pada perebutan posisi atau jabatan dalam sebuah perusahaan maupun dalam lembaga pemerintahan, hingga cara-cara curang dalam mengerjakan ujian nasional masih saja terjadi di bangsa ini. Cara-cara  yang curang tersebut merupakan bukti dari ketidaksiapan orang-orang di bangsa ini yang tidak rela menerima kekalahan.
Jika orangtua berambisi menang dan tidak mentolerir kekalahan atau kegagalan yang terjadi pada anak-anak mereka, maka anak-anak akan memiliki sikap tidak siap untuk menerima kekalahan ataupun kegagalan dan hal ini akan menyebabkan anak-anak kehilangan integritas dan harga diri yang sehat. Anak-anak akan terdorong untuk mencoba berbagai macam cara supaya  mendapatkan kemenangan meski dengan cara yang salah. Mereka tidak akan sanggup menjalani kehidupan dengan benar, berempati, dan mencintai kehidupan itu sendiri.
Ketika orangtua tidak mendidik anak-anak mereka untuk siap menerima kekalahan atau kegagalan, maka anak-anak akan bertumbuh menjadi orang dewasa yang tidak siap dengan kompetisi yang sehat. Dalam hal apapun mereka cenderung melakukan kecurangan atau tindakan-tindakan yang tidak sportif, baik dalam pekerjaan, dalam pernikahan, dan dalam bermasyarakat. Mengapa?
    
    a. Karena kekalahan berarti mengalami rasa malu. Rasa malu yang kuat membuat beberapa orang yang merasa kalah memilih jalan pintas: mengasingkan diri, menyalahkan diri terus-menerus, bunuh diri, dll. Bagi anak yang memiliki harga diri yang tidak sehat, kekalahan merupakan peristiwa terburuk dalam hidupnya. Bagi anak yang perfectionis kegagalan merupakan akhir dari hidupnya karena kekalahan/kegagalan adalah tidak tercapainya kesempurnaan dalam diri mereka. Sehingga tidak sedikit pula mereka yang tidak dapat menyikapi kekalahan/ kegagalan dengan benar pada akhirnya menyerahkan hidup mereka pada kecanduan sebagai bentuk pelarian dari rasa malu; pornografi, narkoba, alkohol, free sex, judi, dll.

   b. Karena kekalahan bila dilihat dari perspektif yang negatif berarti kebodohan atau ketidakmampuan diri. Beberapa orang dengan harga diri yang rendah berpikir bahwa kekalahan merupakan kesalahan fatal dan menjadi bukti dari ketidakmampuan mereka. Padahal dalam proses perjalanan kehidupan, setiap orang akan mengalami kekalahan dan kemenangan  dan itu merupakan hal yang normal. Tokoh-tokoh yang memberi kontribusi pada dunia ini adalah mereka yang pernah mengalami kekalahan atau kegagalan dalam rentang hidupnya.

   c. Karena kekalahan adalah sebuah penolakan secara langsung. Perasaan kalah atau gagal dapat memunculkan perasaan yang tidak diingini atau ditolak oleh semua orang. Orang yang gagal akan menerima pesan negatif yang datang dari dirinya sendiri bahwa semua orang tidak menginginkan dirinya dan dia tidak layak dicintai. Menjadi sebuah evaluasi diri dan perhatian dari orangtua bahwa kekalahan atau kegagalan bisa terjadi kapanpun, dan apakah anak-anak sudah siap menerima kekalahan yang datang dalam hidup mereka? Orang yang tidak siap menerima kekalahan akan berhenti bermimpi. Mereka akan cepat menyerah ketika kesulitan datang dan ketika kegagalan menghampiri mereka, maka “mengeluh” akan menjadi bahasa mereka, kecenderungan menyalahkan orang lain akan menjadi ciri khas mereka. Otomatis mata mereka tertutup untuk melihat pintu kesempatan dalam kekalahan. Mereka tidak belajar dari kekalahan sehingga di usia dewasa pun hidup mereka tidak berkembang dan hanya hidup untuk meratapi diri sendiri dan membuat penolakan diri terhadap orang lain.



“Mari kita belajar dari kekalahan.
Kekalahan dapat menjadi proses pembelajaran bagi semua orang orang tergantung apakah orang tersebut memiliki hati yang mau belajar atau tidak. Kekalahan dapat didaur ulang menjadi kemenangan melalui proses pembelajaran. Apakah cukup sakit? Saya pikir iya, namun rasa sakit akan melahirkan kebijaksanaan.
Kekalahan merupakan peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran bagi siapapun, tanpa melihat usia dan jabatan seseorang. Peter F. Drucker berkata, “Semakin baik seseorang, semakin banyak kesalahan yang akan dia buat, karena semakin banyak hal-hal yang akan dia coba. Saya tidak akan mau memberikan jabatan pimpinan puncak kepada seorang yang tidak berani melakukan kesalahan. Pastilah dia orang yang biasa-biasa saja.” Setiap orang yang mengalami kekalahan pasti dapat belajar dari kekalahan tersebut, dan menemukan apa yang menjadi kesalahannya yang menyebabkan dia kalah atau gagal.
Pembelajaran dari kekalahan akan membedakan orang tersebut dengan seorang pecundang. Karena seorang pecundang selalu takut dengan kekalahan, kegagalan dan kesalahan sehingga dia menolak belajar dari pengalaman tersebut. Seorang pecundang adalah seorang yang memiliki rasa tidak aman dalam dirinya yang akan mempengaruhi stbilitas hidupnya. Daya juang yang dimilikinya sangat kecil sehingga membuat hidupnya tidak pasti dan hal ini yang menyebabkan dia tidak mau terlihat kalah, dan ia akan memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya (bermain aman), tidak mau belajar dalam proses “daur ulang kekalahan” dan hidupnya tidak berkembang.
Pembelajaran dari kekalahan/kegagalan akan mempertajam kejelian kita untuk menangkap kesempatan baru, mengenali hal-hal yang harus diperbaiki, mempertajam visi hidup dan memperbesar kobaran api dari passion hidup kita. Beberapa hal-hal yang bisa kita pelajari dari kekalahan dan bisa kita diskusikan kepada anak-anak:

   1. Kekalahan mengajarkan anak untuk menghormati pemenang dan belajar mengakui kemenangan orang lain bahkan merayakan kemenangan tersebut bersama-sama. Sangat sedikit orang yang berani mengakui kemenangan orang lain dan turut bergembira atas kemenangan orang lain. Orangtua perlu mengajarkan kepada anak-anak tentang sikap yang “legowo” untuk menerima kekalahan dan bersukacita bersama dengan orang lain yang sedang mengalami kemenangan dalam suatu prestasi. Hal ini akan mengajarkan karakter kerendahan hati kepada anak dan keberanian untuk mengakui kekalahannya tanpa harus bersikap negatif terhadap dirinya sendiri maupun kepada orang lain yang sedang mengalami kemenangan. Sikap sportif ini, juga akan menolong anak untuk tetap berada dalam persaingan yang sehat baik dalam studi, dalam pertandingan olah raga ataupun bentuk kompetisi lainnya. Dan sikap ikut serta merayakan kemenangan orang lain akan melatih anak untuk tidak mengijinkan kecemburuan atau iri hati mengendalikan hidup anak. Justru orangtua yang seringkali mengikis sikap sportif anak dengan menyalahkan kekalahan anak, memberikan hukuman pada anak yang kalah, tidak mengijinkan anak mengucapkan kata selamat atas kemenangan orang lain karena orang itu adalah lawan yang menyebabkan dia kalah, atau merendahkan anak karena kekalahannya.

    2. Kekalahan mengajarkan anak untuk mempersiapkan diri lebih baik lagi untuk meraih kemenangan yang tertunda. Meresponi kekalahan atau kegagalan dengan baik, akan membentuk pribadi yang kuat dan menjadikan waktu kekalahan atau kegagalan menjadi waktu persiapan untuk masuk dalam arena kemenangan. Tidak semua peristiwa kekalahan akan merendahkan  anak-anak kita, semua tergantung pada dukungan orangtua dan pribadi anak.  Kekalahan/kegagalan dapat membuat anak menyadari dan mempelajari apa yang membuat mereka gagal dan kalah sehingga mereka dapat memperbaiki diri dan melakukan tindakan positif. Dalam hal ini, sudut pandang anak akan berubah, mereka akan mampu melihat peluang kemenangan disaat mereka mampu menemukan hal-hal yang harus diperbaiki. Kekalahan akan memberikan waktu untuk anak-anak lebih mempersiapkan diri, banyak belajar untuk meraih kemenangan yang tertunda, dan hal ini akan membuat anak menjadi mudah untuk menerima masukan dari orangtua sebagai pelatih kehidupan.

   3. Kekalahan mengajarkan anak untuk memasuki kemenangan yang besar dan layak bagi anak untuk menerimanya. Siap menerima kekalahan akan mendorong anak untuk  memiliki pemikiran yang kritis dan memberikan keterampilan untuk memecahkan permasalahan serta kemampuan untuk memotivasi diri. Merupakan hal yang berbahaya jika anak meraih kemenangan sementara anak tidak siap untuk menerimanya, maka kesombongan atau sikap merendahkan orang lain bisa menjadi karakter anak. Hal yang sama juga bisa terjadi ketika kekalahan tidak disikapi dengan baik oleh anak, maka kekalahan akan menghancurkan hidup anak. Karena itu orangtua dapat menjadikan peristiwa kekalahan bukan  sebagai peristiwa yang menakutkan melainkan peristiwa yang dapat dijadikan masa mempersiapkan anak untuk meraih kemenangan yang akan datang dengan lebih bijaksana, menjadi waktu untuk mempersiapkan diri dengan latihan-latihan serta mendewasakan karakter dan cara berpikir anak.

   4. Kekalahan mengajarkan anak untuk berani dan tidak takut melakukan kegagalan. Kegagalan merupakan bagian dari perjalanan hidup yang maju dan bertumbuh. Kegagalan akan membuka cara  berpikir anak bahwa ada yang bisa mereka pelajari dari kekalahan/kegagalan sehingga kekalahan/kegagalan tetap mengobarkan semangat kebangkitan. Keberanian menghadapi kekalahan/ kegagalan akan membuat anak-anak menjadi terbiasa menangani kekalahan/kegagalan dengan baik. Karakter keberanian perlu dibangun dalam diri anak-anak sehingga mereka tidak memilih potong kompas saat mereka berhadapan dengan kekalahan/ kegagalan, justru mereka akan bertanggung jawab dengan kekalahan/kegagalan yang mereka alami.

   5. Kekalahan mengajarkan anak untuk menjadi kreatif. Orang-orang yang berhasil di dunia ini adalah mereka yang pernah mengalami kekalahan/kegagalan, namun mereka memandang peristiwa tersebut dengan perspektif yang baru sehingga mereka menemukan kesempatan baru dan pikiran yang kreatif, hal itu membuat mereka dapat keluar sebagai pemenang. Mereka yang kreatif bukanlah orang yang tidak pernah kalah atau gagal tetapi mereka menemukan ide-ide baru ketika mereka menyikapi semuanya dengan tepat. Orang yang kreatif merupakan orang-orang yang mencoba mencari cara-cara baru untuk keluar dari keadaan yang lama dan berpindah pada suatu kehidupan yang lebih berkualitas. Orang yang kreatif akan membuat perbedaan dalam pilihan hidupnya, apakah dia akan menyerah dalam kekalahan ataukah dia akan terus berjuang untuk menemukan pintu keluar dari kekalahannya menuju kemenangan. Orang yang kreatif merupakan seseorang yang mampu melahirkan sesuatu terjadi dalam hidupnya, baik itu dalam bentuk ide, karya, dan  pemecahan masalah/solusi. Orang yang kreatif mampu memandang kekalahan dengan cara pandang yang berbeda dan menghasilkan gairah, kekuatan, dan menggugah jiwanya untuk terus bangkit.

    6. Sikap menerima kekalahan mengajarkan anak untuk sportif dalam hidup ini. Sikap ini akan mencegah anak kita menjadi pribadi yang suka menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan, meski kemenangan tersebut didapat dari jalan tanpa kehormatan. Ujian integritas lebih banyak terjadi pada masa kekalahan, meskipun juga dapat terjadi pada masa kemenangan. Namun, masa kekalahan akan memperlihatkan siapa kita sebenarnya dan keaslian kita betul-betul akan terungkap. Sikap berbesar hati akan dialami oleh anak ketika mereka menerima kekalahan dengan legowo. Berbesar hati menolong anak untuk menghormati apapun hasilnya, menghormati siapapun pemenangnya, dan ketika gagal dalam kehidupannya dia akan berani untuk memulai dari awal dan bangkit untuk mencoba kembali.

Mungkin anda sering mendengarkan pernyataan bahwa kesalahan, kekalahan atau kegagalan bukan akhir dari segalanya dan  itu benar. Namun tidak semua orang bisa meyakini hal ini ketika berada dalam pengalaman kegagalan. Mengapa? Karena hidupnya dikendalikan oleh kekecewaan, rasa malu, ketakutan,  sifat perfeksionis bahwa hidup harus sempurna dan tidak ada ruang bagi kegagalan sedikitpun, atau karena daya juang yang lemah. Orang dengan ciri-ciri seperti ini akan mudah menyerah ketika mengalami kegagalan dan akan mengatakan bahwa “ini adalah takdir atau nasib hidupku.”
Lalu apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua  saat anak kita  berada dalam pengalaman “kekalahan”. Godaan besar untuk memilih jalan pintas merupakan godaan yang sangat kuat baik berupa; menyerah atau  menghalalkan cara, bahkan tindakan negatif yang merusak kemenangan orang lain. Dan hal ini dapat dilakukan oleh seorang anak, jika orangtua tidak merespon dengan tepat kekalahan anak. Orangtua harus menolong anak untuk mengarahkan kekecewaan dengan baik dan menolong anak untuk memberikan respon yang tepat.



MERUBAH SUDUT PANDANG ANAK TENTANG KEKALAHAN / KEGAGALAN. Sama halnya dengan pernyataan yang berkata bahwa "rumput tetangga lebih hijau” apakah benar? Semua tergantung bagaimana cara seseorang memandang, dan hal itu akan mempengaruhi apa yang dia rasakan dan apa yang akan dia lakukan. Kita perlu merubah cara kita melihat rumput dihalaman kita sendiri dengan cara pandang yang tepat, lalu kita perbaiki juga cara kita bertindak dan cara hidup kita. Tindakan selalu mengikuti cara pandang kita. Hal yang sama yang bisa kita lakukan adalah merubah sudut pandang anak tentang kekalahan: 
   a. Dalam diri setiap orang percaya ada DNA pemenang. Di dalam Kristus kita bahkan lebih dari pemenang. Amsal berkata 7 kali orang benar jatuh namun bangkit kembali. Pernyataan yang sering saya dengar mengatakan bahwa seorang pemenang bukanlah seorang yang tidak pernah gagal, melainkan seorang yang tidak pernah menyerah untuk mencoba. Apa yang membuat seseorang tidak pernah berhenti untuk mencoba? Hal ini disebakan karena di dalam dirinya ada DNA seorang pemenang.

   b. Roh Allah menjadi penolong bagi anak kita. Tidak ada hal yang paling indah dalam hidup ini ketika kita menyadari bahwa kita tidak berjalan seorang diri karena ada Roh Kudus yang berjalan disamping kita untuk menopang, menghibur, meneguhkan dan menjadi sahabat bagi kita. Orangtua harus mengajarkan kepada anak-anak akan peranan dari Roh Kudus dalam hidup mereka. Menyadari bahwa Roh Kudus yang senantiasa hadir dalam perjalanan kita membuat hidup menjadi menggairahkan. Meskipun anak mungkin mengalami peristiwa kekalahan atau kegagalan, namun hal itu tidak akan melemahkan hati anak karena arti kehadiran Roh Kudus dapat membuat mereka terus berjalan dalam kekuatan Allah.

c. Ada kualitas Ilahi dalam diri anak-anak yang merupakan benih kebesaran yang kita kenal sebagai kemuliaan Allah. Allah melengkapi setiap orang percaya untuk menghasilkan perkara-perakara besar. Menyadari ada kualitas Ilahi dalam diri anak-anak maka perlu kerja sama dari anak-anak untuk mengeluarkan seluruh kualitas dalam diri mereka yang selama ini belum tergali dan masih berbentuk potensi besar. Karena itu sebagai orangtua kita perlu menggali untuk mengetahui potensi diri dari anak-anak kita seperti  apa dan bagaimana mengubahnya menjadi suatu kualitas yang diwujudnyatakan. Dalam hal ini anak-anak perlu berlatih sehingga mereka menjadi ahli. Jika potensi dapat tergali dan dan dapat diubah menjadi kualitas hidup anak-anak maka tidak ada alasan bagi anak untuk menyerah pada kekalahan.

d. Tujuan Allah yang diletakkan dalam hidup anak merupakan alasan untuk anak dapat bangkit kembali dari kekalahan/kegagalan. Orang yang menyerah pada kegagalan merupakan orang-orang yang tidak mengetahui tujuan Allah dalam dirinya. Tujuan Allah dalam hidup setiap anak yang Allah letakkan di dalam diri mereka jauh lebih besar dari peristiwa kekalahan dan kegagalan itu sendiri. Dia yang menciptakan anak-anak telah menetapkan tujuanNya bahkan saat mereka  masih ada dalam pikiran-Nya. Tujuan Allah yang besar inilah yang harus menjadi alasan untuk anak tetap bangkit dari kekalahan dan kegagalan hidup dan menggenapi apa yang Allah kehendaki dalam hidup mereka.

Bila kita kembali mengevaluasi dalam perjalanan hidup kita, maka kita  akan temukan faktor penyebab seseorang mudah menyerah pada kekalahan atau kegagalan yang menghampirinya.
1. Daya juang yang rendah. Hal ini bisa tercipta melalui pola pengasuhan orangtua yang permisif dimana orangtua terlalu memanjakan atau protektif. Anak-anak diciptakan menjadi senyaman mungkin, terhindar dari kesulitan atau tantangan hidup sehingga anak-anak menjadi lemah dan tidak tahan menghadapi kesulitan hidup. Sementara di luar rumah kompetitor sangat banyak, bahkan mereka bisa berhadapan dengan kompetitor yang tidak sehat. Daya juang yang rendah menyebabkan seseorang tidak sanggup menjalani kesulitan khususnya dengan tantangan dari dunia yang keras.

2. Mau hasil tanpa mau proses. Ditengah kemajuan jaman yang canggih, segala sesuatu menjadi mudah dan tersaji dengan cepat dan  generasi hari ini bertumbuh dalam budaya cepat saji/instan. Anak-anak sekarang tidak terlatih untuk menghargai proses, mereka tidak mengerti akan artinya membayar harga, berdiam diri, pengorbanan, menanti waktu yang tepat dan bertekun. Mereka hanya mau hasil tanpa mau berada dalam proses. Hal ini yang mengakibatkan anak-anak sekarang akan cepat bereaksi negatif ketika masuk dalam proses, mereka tidak belajar bertekun dan bersabar. Padahal kekuatan karakter ketekunan dan kesabaran akan membuat mereka kuat saat menghadapi kegagalan. Mereka cenderung menolak kekalahan karena mereka mau hasil yang enak, mendapat tepukan tangan, menyukai cahaya kamera sedangkan di sisi lain mereka menolak proses. Seseorang dapat mencapai keberhasilan instant tapi tidak akan bertahan lama, kecuali mereka menginjinkan diri mereka melewati proses pembentukan keberhasilan. Proses selalu menuntut harga yang harus dibayar, ada kesakitan yang harus dirasakan. Sama seperti tentara yang berjuang di medan tempur untuk suatu kemenangan, mereka kembali dari medan tempur dengan banyak tanda luka-luka untuk suatu kemenangan.

   3. Keyakinan yang salah. Seringkali orangtua tanpa sadar dalam kehidupan anak menanamkan keyakinan-keyakinan yang salah. Saat anak mengalami kekalahan /kegagalan, orangtua mempertegas kekalahan/kegagalan anak dengan pernyataan yang pada akhirnya menjadi keyakinan si anak. “kamu memang tidak akan pernah berhasil”, “apa yang kamu lakukan selalu salah dan tidak ada yang benar”, “sangat wajar kalau kamu gagal, karena sejak awal ayah sudah yakin bahwa kamu pasti gagal”, dll. Keyakinan-keyakinan yang tertanam dengan kuat dalam memori anak menyebabkan hidup anak dikendalikan oleh keyakinan tersebut. Keyakinan yang salah pada akhirnya menjadi kepercayaan diri dan mempengaruhi keseluruhan hidup dan masa depan anak.



Bagaimana sikap orangtua ketika melihat anak-anak mereka mengalami kekalahan atau kegagalan? Saya percaya sebagai orangtua kita ditentukan untuk mengangkat dan menolong anak-anak untuk bangkit dari kekalahan. Saya melihat bukan masalah menang atau kalah, gagal atau berhasil melainkan proses pembelajaran bagi sia anak. Apa yang mereka pelajari dan didapatkan dari kekalahan atau kemenangan tersebut. Dan hal itu jauh lebih penting dari prestasi, piala, hadiah, tepukan tangan, kilatan blitz foto karena dalam proses pembelajaran menyikapi kemenangan atau kekalahan, mereka akan tampil sebagai pribadi yang tangguh atau pribadi yang rapuh. Sebagai orangtua kita harus bijaksana menyikapi kemenangan atau kekalahan, kegagalan atau keberhasilan anak dan bagaimana kebijaksanaan kita akan mencetak anak-anak yang tidak menyerah pada kekalahan atau kegagalan tapi justru mereka dapat bermain cantik dalam kehidupan ini dan tetap keluar sebagai pemenang kehidupan. Kalaupun anak kita menang mereka menang tanpa merendahkan orang lain karena karakter mereka kuat.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh orangtua untuk menolong anak mereka yang sedang mengalami kekalahan/kegagalan dalam perjalanan hidup mereka?

   1. Jangan mengabaikan peristiwa kekalahan/kegagalan yang dialami oleh anak. Setiap peristiwa kekalahan atau kegagalan anak, orangtua dapat mengambil momen tersebut sebagai kesempatan untuk membantu anak mengambil keputusan yang baik, mengajarkan untuk memberi respon yang tepat terhadap kegagalan karena kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika anak menjadi pribadi yang sportif dan matang. Orangtua dapat menolong anak untuk mengelola perasaan kecewa, sedih, marah dan perasaan lainnya untuk dikelola dengan baik oleh si anak sehingga mereka dapat terlatih menjadi cerdas secara emosi. Seringkali ketika anak mengalami kegagalan maka kecenderungan untuk mengambil keputusan potong kompas lebih sering diambil dan disinilah peran orangtua untuk menolong anak untuk membuat keputusan yang bijak dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

   2. Berikan waktu untuk anak dapat mendiskusikan kekalahan atau kegagalannya bersama orangtua. Disini orangtua dapat mengubah cara melihat anak terhadap kegagalan. Kekalahan ataupun kegagalan bukanlah akhir dari kehidupan. Menurut Dorothy dan Rachel Harris, sebagai orangtua kita dapat membantu anak remaja kita pada masa-masa kekalahan dengan tenang dan objektif, dengan mengajukan pertanyaan supaya kita bisa memahami apa yang mereka lewati, dengan menyediakan empati dan membantu mereka bergerak menemukan solusi alternatif, karena anak remaja tidak selalu bisa melihat pilihan lain yang mungkin tesedia.[3] Dibutuhkan komunikasi yang baik dari orangtua untuk mendiskusikan kekalahan atau kegagalan sehingga anak dapat merasa didukung. Orangtua perlu menunjukkan empati, dan kasih tanpa syarat kepada anak sehingga anak tidak merasa ditolak. Orangtua harus menyadari bahwa dalam kekalahan/kegagalan anak, mereka telah mencoba melakukan yang terbaik dan orangtua harus menghargai semua upaya mereka, secara khusus saat anak mencoba untuk bangkit kembali meraih kemenangan.

   3. Orangtua dapat mengajarkan dan mendorong anak untuk tetap bertekun. Ketekunan merupakan hal yang jarang didapati pada  anak jaman sekarang yang terbiasa dengan pola instant. Namun pengalaman kekalahan, kegagalan, kesalahan dapat menjadi momen terbaik untuk mengajarkan anak-anak tentang karakter ketekunan. Ketekunan yang dipahami dengan benar oleh anak, akan membawa anak menghargai proses dengan baik. Ketekunan membuat anak tidak mudah menyerah dengan kesulitan apapun karena mereka akan menyadari bahwa kesulitan yang dihadapi dengan keberanian akan membawanya pada hasil yang lebih baik. Tanpa ketekunan seorang anak tidak akan pernah menghargai apapun yang diperolehnya. Melalui ketekunanlah anak-anak akan belajar menghargai arti sebuah nilai, arti perjuangan, proses dan ketekunan itu sendiri.

   4. Berikan quality relationship pada anak-anak, sehingga anak-anak tidak merasa sendirian. Kekalahan atau kegagalan  bagi seorang anak merupakan sebuah penolakan, untuk itu orangtua perlu memberikan waktu khusus untuk mendampingi anak sehingga tidak merasa sendirian dan tertolak. Kehadiran orangtua akan memberikan arti tersendiri bagi anak. Anak tidak akan merasa ditinggalkan, tidak merasa tertolak ataupun merasa hancur. Pengalaman ikut merasakan suka dan duka anak-anak akan membawa orangtua semakin mengenal karakter dan kepribadian anak-anak kita dan mempererat kebersamaan dengan mereka. Dalam pengalaman suka dan duka seorang anak, orangtua harus tetap terhubung dengan kehidupan mereka dengan mendalam. Pengabaian orangtua merupakan sikap penolakan secara langsung dalam kehidupan mereka, karena mengakibatkan anak merasa tidak aman dengan diri mereka sendiri dan dapat memunculkan kecemasan dalam diri anak.

   5. Orangtua dapat mengajarkan harapan yang realistis kepada anak-anak. Seringkali anak-anak memiliki gambaran keberhasilan, kemenangan, atau  kesuksesan dalam bentuk yang tidak realistis. Hal ini bisa dipengaruhi oleh media massa, mereka berpikir bahwa keberhasilan dapat terjadi dalam waktu semalam, kemenangan dapat direbut tanpa pertempuran dan bahkan tanpa luka sedikitpun. Mereka dapat berpikir pula bahwa kesuksesan datang karena memiliki mimpi dan didoakan tanpa harus diupayakan. Sehingga anak-anak tidak belajar dan tidak memahami apa itu ketekunan, kesabaran, kerja keras, dan kerajinan. Yang mereka ketahui adalah bagaimana mereka hidup dan terlayani dengan baik. Dengan mengajarkan harapan yang realistis, anak dapat mengukur kekuatan untuk mencapai kemenangan tersebut dan juga anak dapat memikirkan strategi untuk merebut kemenangan.

   6. Orangtua menolong anak untuk memiliki cara pandang yang alkitabiah dalam menyikapi kegagalan. Apakah yang anak anda pikirkan tentang kekalahan atau kegagalan yang dia alami? Apa yang akan anak anda katakan tentang dirinya sejak saat itu? Bagaimana cara anak anda menyikapi kekalahannya ketika anak lain bertanya tentang kekalahannya? Apa yang anak anda pikirkan tentang Allah, pertumbuhan rohani, keadilan Allah, kemenangan atau iman? Merupakan tanggung jawab orangtua untuk memuridkan anak-anak mereka untuk memiliki cara pandang yang alkitabiah tentang kehidupan termasuk tentang kekalahan. Hal ini penting karena orangtua harus menolong anak untuk dapat memberikan respon yang alkitabiah disetiap peristiwa yang mereka alami. Selain itu anak akan memasuki proses membangun fondasi kehidupan dalam menyikapi pandangan dunia atau tekanan-tekanan dari teman-teman mereka yang akan membuat mereka menjadi bingung tentang iman maupun hidup mereka jika mereka tidak memiliki sudut pandang yang alkitabiah.

   7. Orangtua harus menolong anak untuk menjaga 5 hal yang tidak boleh hancur saat mereka mengalami fase kekalahan, kegagalan atau kesalahan:
a.   Rasa aman
b.   Perasaan diri yang berharga
c.   Pengharapan
d.   Kontrol diri
e.   Impian
f.   Iman pada Yesus Kristus dan bahwa Kristus ada bersama mereka bahkan disaat mereka terjatuh atau di saat berada dalam lembah kegagalan.

Dunia ini berisi orang yang menang dan kalah tapi bukan berarti orang yang kalah memiliki  kualitas yang buruk. Kualitas yang buruk adalah mereka yang kalah dan memilih untuk menyerah tanpa mau memperbaiki dan mencoba untuk bangkit kembali. Seseorang yang mengalami kekalahan, tidak akan selamanya kalah kecuali dia berhenti untuk berjuang. Orang yang gagal tidak selamanya hidupnya pasti gagal, karena selama dia berani untuk mengevaluasi hidupnya, dan berani untuk bangkit maka orang tersebut akan mengubah kegagalan menjadi kemenangan. Orang yang berbuat kesalahan bukan berati orang tersebut selamanya akan berbuat kesalahan karena ketika orang tersebut dapat menemukan apa yang menjadi persoalan inti yang membuat dia melakukan kesalahan dan dia berani mengakui dan berubah, maka kesalahan akan berganti menjadi kemenangan yang gemilang.
Tuhan tidak menciptakan orang-orang yang menyerah pada kekalahan, kegagalan ataupun kesalahan karena Tuhan meletakkan kemampuan untuk mengelola kekalahan, kegagalan dan kesalahan dalam diri setiap orang menjadi kemenangan. Kekalahan, kegagalan, kesalahan menyadarkan bahwa manusia pada hakekatnya tidak bisa lepas dari kebergantungannya pada Allah “karena di luar Aku (Yesus), kamu tidak dapat berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:4-5). Kalaupun orang percaya mengalami kegagalan, hal itu terjadi untuk membuat orang percaya semakin matang dalam perjalanan kehidupannya, karena melalui kegagalan disitulah diijinkan adanya proses pembentukan karakter. Dalam proses kekalahan/kegagalan maka seseorang akan menggali dirinya untuk menemukan potensi diri yang terpendam sehingga dia dapat menggunakan potensinya untuk menghasilkan kemenangan.

 “Menerima kekalahan bukanlah akhir sebuah perjuangan, namun merupakan perjuangan itu sendiri dimana kita dituntut untuk  memberikan respon yang benar yakni sikap untuk bertanggung jawab atas kekalahan dan mengubah kekalahan  menjadi kemenangan yang layak kita terima.

* Tulisan ini saya dedikasihkan untuk orangtua yang sedang berjuang untuk mengembangkan karakter anak yang kuat yang tidak menyerah pada kekalahan atau pengalaman kegagalan yang berulang kali.


[1] Rheinald Kasali, Self Driving, Jakarta: Mizan, 2015, hlm 50
[2] Dorothy & Rachel Harris, Remaja Belajar dari Apa yang Mereka Alami dalam Kehidupan ini. Batam: Interaksara, 2004, hlm. 38
[3] Ibid., hlm 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar