Mendidik anak menjadi pribadi yang
bertanggung jawab
atas kekalahan/kegagalan.
atas kekalahan/kegagalan.
“Kekalahan bagi beberapa orang
merupakan akhir dari dunia, namun bagi orang yang
memiliki mental pemenang,
kekalahan hanyalah sebuah penundaan sesaat dan menjadi waktu untuk mempersiapkan diri bagi kemenangan esok hari.
Kekalahan juga merupakan kesempatan untuk memberikan ucapan kemenangan bagi orang lain yang sedang mengalami kemenangan
tanpa ada kemarahan sedikitpun.”
kekalahan hanyalah sebuah penundaan sesaat dan menjadi waktu untuk mempersiapkan diri bagi kemenangan esok hari.
Kekalahan juga merupakan kesempatan untuk memberikan ucapan kemenangan bagi orang lain yang sedang mengalami kemenangan
tanpa ada kemarahan sedikitpun.”
“Sebab tujuh kali orang benar jatuh,
namun ia bangun kembali, tetapi orang fasik
akan roboh dalam bencana.”
Amsal 24:16 -
Salomo
Saat
saya masih kecil (sekitar kelas 4 SD), saya sedang bermain kartu bergambar
dengan kakak saya beserta teman-teman yang lain. Permainan kartu gambar sangat disukai
oleh anak-anak saat itu. Kami saling bermain untuk memperoleh kartu gambar yang
bagus-bagus dari teman yang kalah. Saat permainan berlangsung dengan seru, saya
mengalami kekalahan dan karena merasa kalah, saya pulang dengan kemarahan.
Di
saat saya hendak pulang, kakak saya tersenyum dan mengajak saya untuk tetap
bermain. Namun, hal itu membuat saya menjadi jengkel dan marah, dalam kemarahan
saya megambil batu kecil dan melemparkan ke arah kakak saya dan tepat mengenai
kepala kakak saya....crass! Saat itu mengalir darah dari kepala kakak saya dan saya
berlari meninggalkan kakak saya dan pulang ke rumah dengan ketakutan. Bisa
ditebak apa yang terjadi dengan saya di ruma, saat orangtua saya tahu kalau
saya telah melukai kakak saya karena saya tidak siap untuk menerima kekalahan
dalam bermain (saya dihajar oleh papa
saya).
Pernahkah
anda mendengar kisah seorang ibu yang tiba-tiba datang ke sekolah anaknya dan
marah-marah dihadapan para guru karena anaknya tidak menjadi juara di sekolah? Hal
yang aneh namun itu yang terhadi. Harus diakui bahwa yang seringkali tidak siap
menerima kekalahan adalah orangtua dan bukan anak. Hal ini disebabkan yang
memiliki ambisi untuk mendapatkan rangking pertama adalah orangtua, anak hanya menjadi
korban dari gengsi/sikap egois dari orangtua dan menurut saya perilaku orangtua
seperti ini merupakan tindakan kekerasan pada anak.
Rheinald
Kasali mengungkapkan bahwa seringkali potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan
kemampuan mengopi buku dan catatan.[1] Tetapi
itulah fakta, masih begitu banyak orangtua yang hanya mengukur kecerdasan anak
dari nilai akademis, sementara pada diri anak masih memiliki kecerdasan yang
lain di luar akademis, namun tidak tergali.
Dorothy & Rachel Harris dalam bukunya “Remaja belajar dari apa yang
mereka alami” (2004) bahwa masa remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen.
Mereka akan mencoba peran-peran yang berbeda dan menjalankan beragam aktivitas.
Dan dalam prosesnya mereka akan mengalami kesuksesan dan kegagalan.[2]
Sayangnya tidak semua orangtua siap menerima kekalahan atau kegagalan anak-anaknya.
Anak menjadi frustasi dibawah tekanan orangtua yang menuntut mereka harus
menang dan tidak boleh kalah, harus berhasil dan tidak boleh gagal. Kekalahan
atau kegagalan bagi sebagian orang merupakan peristiwa yang sangat menakutkan
dan memalukan, sementara bagi sebagian orang yang lain, kekalahan atau kegagalan
merupakan bagian atau pelengkap dari sebuah kesuksesan.
Di
tengah era kompetisi yang sangat sengit sekarang ini, banyak cara yang
dilegalkan demi meraih keberhasilan dan kemenangan. Dari cara-cara yang curang
pada perebutan posisi atau jabatan dalam sebuah perusahaan maupun dalam lembaga
pemerintahan, hingga cara-cara curang dalam mengerjakan ujian nasional masih
saja terjadi di bangsa ini. Cara-cara yang curang tersebut merupakan bukti dari
ketidaksiapan orang-orang di bangsa ini yang tidak rela menerima kekalahan.
Jika
orangtua berambisi menang dan tidak mentolerir kekalahan atau kegagalan yang
terjadi pada anak-anak mereka, maka anak-anak akan memiliki sikap tidak siap untuk
menerima kekalahan ataupun kegagalan dan hal ini akan menyebabkan anak-anak
kehilangan integritas dan harga diri yang sehat. Anak-anak akan terdorong untuk
mencoba berbagai macam cara supaya mendapatkan kemenangan meski dengan cara yang
salah. Mereka tidak akan sanggup menjalani kehidupan dengan benar, berempati, dan
mencintai kehidupan itu sendiri.
Ketika
orangtua tidak mendidik anak-anak mereka untuk siap menerima kekalahan atau
kegagalan, maka anak-anak akan bertumbuh menjadi orang dewasa yang tidak siap
dengan kompetisi yang sehat. Dalam hal apapun mereka cenderung melakukan
kecurangan atau tindakan-tindakan yang tidak sportif, baik dalam pekerjaan,
dalam pernikahan, dan dalam bermasyarakat. Mengapa?
a. Karena kekalahan berarti mengalami rasa malu. Rasa malu yang kuat membuat beberapa orang yang merasa kalah memilih jalan pintas: mengasingkan diri, menyalahkan diri terus-menerus, bunuh diri, dll. Bagi anak yang memiliki harga diri yang tidak sehat, kekalahan merupakan peristiwa terburuk dalam hidupnya. Bagi anak yang perfectionis kegagalan merupakan akhir dari hidupnya karena kekalahan/kegagalan adalah tidak tercapainya kesempurnaan dalam diri mereka. Sehingga tidak sedikit pula mereka yang tidak dapat menyikapi kekalahan/ kegagalan dengan benar pada akhirnya menyerahkan hidup mereka pada kecanduan sebagai bentuk pelarian dari rasa malu; pornografi, narkoba, alkohol, free sex, judi, dll.
b. Karena kekalahan
bila dilihat dari perspektif yang negatif berarti kebodohan atau ketidakmampuan
diri.
Beberapa orang dengan harga diri yang rendah berpikir bahwa kekalahan merupakan
kesalahan fatal dan menjadi bukti dari ketidakmampuan mereka. Padahal dalam
proses perjalanan kehidupan, setiap orang akan mengalami kekalahan dan
kemenangan dan itu merupakan hal yang
normal. Tokoh-tokoh yang memberi kontribusi pada dunia ini adalah mereka yang
pernah mengalami kekalahan atau kegagalan dalam rentang hidupnya.
c. Karena
kekalahan adalah sebuah penolakan secara langsung. Perasaan
kalah atau gagal dapat memunculkan perasaan yang tidak diingini atau ditolak
oleh semua orang. Orang yang gagal akan menerima pesan negatif yang datang dari
dirinya sendiri bahwa semua orang tidak menginginkan dirinya dan dia tidak
layak dicintai. Menjadi sebuah
evaluasi diri dan perhatian dari orangtua bahwa kekalahan atau kegagalan bisa
terjadi kapanpun, dan apakah anak-anak sudah siap menerima kekalahan yang
datang dalam hidup mereka? Orang yang tidak siap menerima kekalahan akan
berhenti bermimpi. Mereka akan cepat menyerah ketika kesulitan datang dan
ketika kegagalan menghampiri mereka, maka “mengeluh” akan menjadi bahasa mereka,
kecenderungan menyalahkan orang lain akan menjadi ciri khas mereka. Otomatis mata
mereka tertutup untuk melihat pintu kesempatan dalam kekalahan. Mereka tidak
belajar dari kekalahan sehingga di usia dewasa pun hidup mereka tidak
berkembang dan hanya hidup untuk meratapi diri sendiri dan membuat penolakan
diri terhadap orang lain.
“Mari kita belajar dari kekalahan.”
Kekalahan
dapat menjadi proses pembelajaran bagi semua orang orang tergantung apakah
orang tersebut memiliki hati yang mau belajar atau tidak. Kekalahan dapat
didaur ulang menjadi kemenangan melalui proses pembelajaran. Apakah cukup
sakit? Saya pikir iya, namun rasa sakit akan melahirkan kebijaksanaan.
Kekalahan
merupakan peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran bagi siapapun, tanpa melihat
usia dan jabatan seseorang. Peter F. Drucker berkata, “Semakin baik seseorang,
semakin banyak kesalahan yang akan dia buat, karena semakin banyak hal-hal yang
akan dia coba. Saya tidak akan mau memberikan jabatan pimpinan puncak kepada
seorang yang tidak berani melakukan kesalahan. Pastilah dia orang yang
biasa-biasa saja.” Setiap orang yang mengalami kekalahan pasti dapat belajar
dari kekalahan tersebut, dan menemukan apa yang menjadi kesalahannya yang
menyebabkan dia kalah atau gagal.
Pembelajaran
dari kekalahan akan membedakan orang tersebut dengan seorang pecundang. Karena
seorang pecundang selalu takut dengan kekalahan, kegagalan dan kesalahan
sehingga dia menolak belajar dari pengalaman tersebut. Seorang pecundang adalah
seorang yang memiliki rasa tidak aman dalam dirinya yang akan mempengaruhi
stbilitas hidupnya. Daya juang yang dimilikinya sangat kecil sehingga membuat
hidupnya tidak pasti dan hal ini yang menyebabkan dia tidak mau terlihat kalah,
dan ia akan memilih untuk tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dirinya (bermain aman), tidak mau belajar dalam
proses “daur ulang kekalahan” dan hidupnya tidak berkembang.
Pembelajaran
dari kekalahan/kegagalan akan mempertajam kejelian kita untuk menangkap
kesempatan baru, mengenali hal-hal yang harus diperbaiki, mempertajam visi
hidup dan memperbesar kobaran api dari passion hidup kita. Beberapa hal-hal
yang bisa kita pelajari dari kekalahan dan bisa kita diskusikan kepada
anak-anak:
1. Kekalahan
mengajarkan anak untuk menghormati pemenang dan belajar mengakui kemenangan
orang lain bahkan merayakan kemenangan tersebut bersama-sama. Sangat sedikit
orang yang berani mengakui kemenangan orang lain dan turut bergembira atas
kemenangan orang lain. Orangtua perlu mengajarkan kepada anak-anak tentang
sikap yang “legowo” untuk menerima kekalahan dan bersukacita bersama dengan
orang lain yang sedang mengalami kemenangan dalam suatu prestasi. Hal ini akan
mengajarkan karakter kerendahan hati kepada anak dan keberanian untuk mengakui
kekalahannya tanpa harus bersikap negatif terhadap dirinya sendiri maupun
kepada orang lain yang sedang mengalami kemenangan. Sikap sportif ini, juga
akan menolong anak untuk tetap berada dalam persaingan yang sehat baik dalam
studi, dalam pertandingan olah raga ataupun bentuk kompetisi lainnya. Dan sikap
ikut serta merayakan kemenangan orang lain akan melatih anak untuk tidak
mengijinkan kecemburuan atau iri hati mengendalikan hidup anak. Justru orangtua
yang seringkali mengikis sikap sportif anak dengan menyalahkan kekalahan anak,
memberikan hukuman pada anak yang kalah, tidak mengijinkan anak mengucapkan
kata selamat atas kemenangan orang lain karena orang itu adalah lawan yang
menyebabkan dia kalah, atau merendahkan anak karena kekalahannya.
2. Kekalahan mengajarkan anak untuk mempersiapkan
diri lebih baik lagi untuk meraih kemenangan yang tertunda. Meresponi
kekalahan atau kegagalan dengan baik, akan membentuk pribadi yang kuat dan
menjadikan waktu kekalahan atau kegagalan menjadi waktu persiapan untuk masuk
dalam arena kemenangan. Tidak semua peristiwa kekalahan akan merendahkan anak-anak kita, semua tergantung pada dukungan
orangtua dan pribadi anak. Kekalahan/kegagalan
dapat membuat anak menyadari dan mempelajari apa yang membuat mereka gagal dan
kalah sehingga mereka dapat memperbaiki diri dan melakukan tindakan positif.
Dalam hal ini, sudut pandang anak akan berubah, mereka akan mampu melihat
peluang kemenangan disaat mereka mampu menemukan hal-hal yang harus diperbaiki.
Kekalahan akan memberikan waktu untuk anak-anak lebih mempersiapkan diri,
banyak belajar untuk meraih kemenangan yang tertunda, dan hal ini akan membuat
anak menjadi mudah untuk menerima masukan dari orangtua sebagai pelatih
kehidupan.
3. Kekalahan
mengajarkan anak untuk memasuki kemenangan yang besar dan layak bagi anak untuk
menerimanya. Siap
menerima kekalahan akan mendorong anak untuk
memiliki pemikiran yang kritis dan memberikan keterampilan untuk
memecahkan permasalahan serta kemampuan untuk memotivasi diri. Merupakan hal
yang berbahaya jika anak meraih kemenangan sementara anak tidak siap untuk
menerimanya, maka kesombongan atau sikap merendahkan orang lain bisa menjadi
karakter anak. Hal yang sama juga bisa terjadi ketika kekalahan tidak disikapi
dengan baik oleh anak, maka kekalahan akan menghancurkan hidup anak. Karena itu
orangtua dapat menjadikan peristiwa kekalahan bukan sebagai peristiwa yang menakutkan melainkan
peristiwa yang dapat dijadikan masa mempersiapkan anak untuk meraih kemenangan
yang akan datang dengan lebih bijaksana, menjadi waktu untuk mempersiapkan diri
dengan latihan-latihan serta mendewasakan karakter dan cara berpikir anak.
4. Kekalahan mengajarkan anak untuk berani dan tidak
takut melakukan kegagalan. Kegagalan merupakan bagian dari perjalanan hidup
yang maju dan bertumbuh. Kegagalan akan membuka cara berpikir anak bahwa ada yang bisa mereka
pelajari dari kekalahan/kegagalan sehingga kekalahan/kegagalan tetap
mengobarkan semangat kebangkitan. Keberanian menghadapi kekalahan/ kegagalan
akan membuat anak-anak menjadi terbiasa menangani kekalahan/kegagalan dengan
baik. Karakter keberanian perlu dibangun dalam diri anak-anak sehingga mereka
tidak memilih potong kompas saat mereka berhadapan dengan kekalahan/ kegagalan,
justru mereka akan bertanggung jawab dengan kekalahan/kegagalan yang mereka
alami.
5. Kekalahan mengajarkan anak untuk menjadi kreatif. Orang-orang
yang berhasil di dunia ini adalah mereka yang pernah mengalami kekalahan/kegagalan,
namun mereka memandang peristiwa tersebut dengan perspektif yang baru sehingga
mereka menemukan kesempatan baru dan pikiran yang kreatif, hal itu membuat
mereka dapat keluar sebagai pemenang. Mereka yang kreatif bukanlah orang yang
tidak pernah kalah atau gagal tetapi mereka menemukan ide-ide baru ketika
mereka menyikapi semuanya dengan tepat. Orang yang kreatif merupakan orang-orang
yang mencoba mencari cara-cara baru untuk keluar dari keadaan yang lama dan
berpindah pada suatu kehidupan yang lebih berkualitas. Orang yang kreatif akan
membuat perbedaan dalam pilihan hidupnya, apakah dia akan menyerah dalam
kekalahan ataukah dia akan terus berjuang untuk menemukan pintu keluar dari
kekalahannya menuju kemenangan. Orang yang kreatif merupakan seseorang yang
mampu melahirkan sesuatu terjadi dalam hidupnya, baik itu dalam bentuk ide,
karya, dan pemecahan masalah/solusi.
Orang yang kreatif mampu memandang kekalahan dengan cara pandang yang berbeda
dan menghasilkan gairah, kekuatan, dan menggugah jiwanya untuk terus bangkit.
6. Sikap menerima
kekalahan mengajarkan anak untuk sportif dalam hidup ini. Sikap ini
akan mencegah anak kita menjadi pribadi yang suka menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan kemenangan, meski kemenangan tersebut didapat dari jalan
tanpa kehormatan. Ujian integritas lebih banyak terjadi pada masa kekalahan,
meskipun juga dapat terjadi pada masa kemenangan. Namun, masa kekalahan akan
memperlihatkan siapa kita sebenarnya dan keaslian kita betul-betul akan
terungkap. Sikap berbesar hati akan dialami oleh anak ketika mereka menerima
kekalahan dengan legowo. Berbesar hati menolong anak untuk menghormati apapun
hasilnya, menghormati siapapun pemenangnya, dan ketika gagal dalam kehidupannya
dia akan berani untuk memulai dari awal dan bangkit untuk mencoba kembali.
Mungkin
anda sering mendengarkan pernyataan bahwa kesalahan, kekalahan atau kegagalan
bukan akhir dari segalanya dan itu
benar. Namun tidak semua orang bisa meyakini hal ini ketika berada dalam
pengalaman kegagalan. Mengapa? Karena hidupnya dikendalikan oleh kekecewaan,
rasa malu, ketakutan, sifat perfeksionis
bahwa hidup harus sempurna dan tidak ada ruang bagi kegagalan sedikitpun, atau
karena daya juang yang lemah. Orang dengan ciri-ciri seperti ini akan mudah
menyerah ketika mengalami kegagalan dan akan mengatakan bahwa “ini adalah
takdir atau nasib hidupku.”
Lalu
apa yang harus kita lakukan sebagai orangtua saat anak kita berada dalam pengalaman “kekalahan”. Godaan
besar untuk memilih jalan pintas merupakan godaan yang sangat kuat baik berupa;
menyerah atau menghalalkan cara, bahkan tindakan
negatif yang merusak kemenangan orang lain. Dan hal ini dapat dilakukan oleh
seorang anak, jika orangtua tidak merespon dengan tepat kekalahan anak.
Orangtua harus menolong anak untuk mengarahkan kekecewaan dengan baik dan
menolong anak untuk memberikan respon yang tepat.
MERUBAH SUDUT PANDANG ANAK TENTANG KEKALAHAN / KEGAGALAN.
Sama halnya dengan pernyataan yang berkata bahwa "rumput tetangga lebih hijau” apakah benar?
Semua tergantung bagaimana cara seseorang memandang, dan hal itu akan mempengaruhi
apa yang dia rasakan dan apa yang akan dia lakukan. Kita perlu merubah cara
kita melihat rumput dihalaman kita sendiri dengan cara pandang yang tepat, lalu
kita perbaiki juga cara kita bertindak dan cara hidup kita. Tindakan selalu
mengikuti cara pandang kita. Hal yang sama yang bisa kita lakukan adalah merubah
sudut pandang anak tentang kekalahan:
a. Dalam diri setiap orang percaya ada DNA pemenang. Di dalam
Kristus kita bahkan lebih dari pemenang. Amsal berkata 7 kali orang benar jatuh
namun bangkit kembali. Pernyataan yang sering saya dengar mengatakan bahwa
seorang pemenang bukanlah seorang yang tidak pernah gagal, melainkan seorang
yang tidak pernah menyerah untuk mencoba. Apa yang membuat seseorang tidak
pernah berhenti untuk mencoba? Hal ini disebakan karena di dalam dirinya ada
DNA seorang pemenang.
b. Roh Allah menjadi penolong bagi anak kita. Tidak ada hal
yang paling indah dalam hidup ini ketika kita menyadari bahwa kita tidak
berjalan seorang diri karena ada Roh Kudus yang berjalan disamping kita untuk
menopang, menghibur, meneguhkan dan menjadi sahabat bagi kita. Orangtua harus
mengajarkan kepada anak-anak akan peranan dari Roh Kudus dalam hidup mereka. Menyadari
bahwa Roh Kudus yang senantiasa hadir dalam perjalanan kita membuat hidup menjadi
menggairahkan. Meskipun anak mungkin mengalami peristiwa kekalahan atau
kegagalan, namun hal itu tidak akan melemahkan hati anak karena arti kehadiran
Roh Kudus dapat membuat mereka terus berjalan dalam kekuatan Allah.
c. Ada kualitas Ilahi dalam diri anak-anak yang merupakan benih kebesaran yang kita kenal sebagai kemuliaan Allah. Allah melengkapi setiap orang percaya untuk menghasilkan perkara-perakara besar. Menyadari ada kualitas Ilahi dalam diri anak-anak maka perlu kerja sama dari anak-anak untuk mengeluarkan seluruh kualitas dalam diri mereka yang selama ini belum tergali dan masih berbentuk potensi besar. Karena itu sebagai orangtua kita perlu menggali untuk mengetahui potensi diri dari anak-anak kita seperti apa dan bagaimana mengubahnya menjadi suatu kualitas yang diwujudnyatakan. Dalam hal ini anak-anak perlu berlatih sehingga mereka menjadi ahli. Jika potensi dapat tergali dan dan dapat diubah menjadi kualitas hidup anak-anak maka tidak ada alasan bagi anak untuk menyerah pada kekalahan.
Bila
kita kembali mengevaluasi dalam perjalanan hidup kita, maka kita akan temukan faktor penyebab seseorang mudah
menyerah pada kekalahan atau kegagalan yang menghampirinya.
1. Daya juang yang rendah. Hal ini bisa
tercipta melalui pola pengasuhan orangtua yang permisif dimana orangtua terlalu
memanjakan atau protektif. Anak-anak diciptakan menjadi senyaman mungkin,
terhindar dari kesulitan atau tantangan hidup sehingga anak-anak menjadi lemah
dan tidak tahan menghadapi kesulitan hidup. Sementara di luar rumah kompetitor
sangat banyak, bahkan mereka bisa berhadapan dengan kompetitor yang tidak
sehat. Daya juang yang rendah menyebabkan seseorang tidak sanggup menjalani
kesulitan khususnya dengan tantangan dari dunia yang keras.
2. Mau hasil tanpa mau proses. Ditengah kemajuan jaman yang canggih, segala sesuatu menjadi mudah dan tersaji dengan cepat dan generasi hari ini bertumbuh dalam budaya cepat saji/instan. Anak-anak sekarang tidak terlatih untuk menghargai proses, mereka tidak mengerti akan artinya membayar harga, berdiam diri, pengorbanan, menanti waktu yang tepat dan bertekun. Mereka hanya mau hasil tanpa mau berada dalam proses. Hal ini yang mengakibatkan anak-anak sekarang akan cepat bereaksi negatif ketika masuk dalam proses, mereka tidak belajar bertekun dan bersabar. Padahal kekuatan karakter ketekunan dan kesabaran akan membuat mereka kuat saat menghadapi kegagalan. Mereka cenderung menolak kekalahan karena mereka mau hasil yang enak, mendapat tepukan tangan, menyukai cahaya kamera sedangkan di sisi lain mereka menolak proses. Seseorang dapat mencapai keberhasilan instant tapi tidak akan bertahan lama, kecuali mereka menginjinkan diri mereka melewati proses pembentukan keberhasilan. Proses selalu menuntut harga yang harus dibayar, ada kesakitan yang harus dirasakan. Sama seperti tentara yang berjuang di medan tempur untuk suatu kemenangan, mereka kembali dari medan tempur dengan banyak tanda luka-luka untuk suatu kemenangan.
3. Keyakinan yang
salah. Seringkali
orangtua tanpa sadar dalam kehidupan anak menanamkan keyakinan-keyakinan yang
salah. Saat anak mengalami kekalahan /kegagalan, orangtua mempertegas kekalahan/kegagalan
anak dengan pernyataan yang pada akhirnya menjadi keyakinan si anak. “kamu
memang tidak akan pernah berhasil”, “apa yang kamu lakukan selalu salah dan
tidak ada yang benar”, “sangat wajar kalau kamu gagal, karena sejak awal ayah
sudah yakin bahwa kamu pasti gagal”, dll. Keyakinan-keyakinan yang tertanam
dengan kuat dalam memori anak menyebabkan hidup anak dikendalikan oleh
keyakinan tersebut. Keyakinan yang salah pada akhirnya menjadi kepercayaan diri
dan mempengaruhi keseluruhan hidup dan masa depan anak.
Bagaimana sikap orangtua ketika melihat anak-anak mereka mengalami kekalahan atau kegagalan? Saya percaya sebagai orangtua kita ditentukan untuk mengangkat dan menolong anak-anak untuk bangkit dari kekalahan. Saya melihat bukan masalah menang atau kalah, gagal atau berhasil melainkan proses pembelajaran bagi sia anak. Apa yang mereka pelajari dan didapatkan dari kekalahan atau kemenangan tersebut. Dan hal itu jauh lebih penting dari prestasi, piala, hadiah, tepukan tangan, kilatan blitz foto karena dalam proses pembelajaran menyikapi kemenangan atau kekalahan, mereka akan tampil sebagai pribadi yang tangguh atau pribadi yang rapuh. Sebagai orangtua kita harus bijaksana menyikapi kemenangan atau kekalahan, kegagalan atau keberhasilan anak dan bagaimana kebijaksanaan kita akan mencetak anak-anak yang tidak menyerah pada kekalahan atau kegagalan tapi justru mereka dapat bermain cantik dalam kehidupan ini dan tetap keluar sebagai pemenang kehidupan. Kalaupun anak kita menang mereka menang tanpa merendahkan orang lain karena karakter mereka kuat.
Lalu
apa yang harus dilakukan oleh orangtua untuk menolong anak mereka yang sedang mengalami
kekalahan/kegagalan dalam perjalanan hidup mereka?
1. Jangan mengabaikan peristiwa kekalahan/kegagalan yang dialami oleh anak. Setiap
peristiwa kekalahan atau kegagalan anak, orangtua dapat mengambil momen
tersebut sebagai kesempatan untuk membantu anak mengambil keputusan yang baik,
mengajarkan untuk memberi respon yang tepat terhadap kegagalan karena
kemenangan yang sesungguhnya adalah ketika anak menjadi pribadi yang sportif
dan matang. Orangtua dapat menolong anak untuk mengelola perasaan kecewa,
sedih, marah dan perasaan lainnya untuk dikelola dengan baik oleh si anak
sehingga mereka dapat terlatih menjadi cerdas secara emosi. Seringkali ketika
anak mengalami kegagalan maka kecenderungan untuk mengambil keputusan potong
kompas lebih sering diambil dan disinilah peran orangtua untuk menolong anak untuk
membuat keputusan yang bijak dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
2. Berikan waktu untuk anak dapat mendiskusikan
kekalahan atau kegagalannya bersama orangtua. Disini
orangtua dapat mengubah cara melihat anak terhadap kegagalan. Kekalahan ataupun
kegagalan bukanlah akhir dari kehidupan. Menurut Dorothy dan Rachel Harris,
sebagai orangtua kita dapat membantu anak remaja kita pada masa-masa kekalahan
dengan tenang dan objektif, dengan mengajukan pertanyaan supaya kita bisa
memahami apa yang mereka lewati, dengan menyediakan empati dan membantu mereka
bergerak menemukan solusi alternatif, karena anak remaja tidak selalu bisa
melihat pilihan lain yang mungkin tesedia.[3]
Dibutuhkan komunikasi yang baik dari orangtua untuk mendiskusikan kekalahan
atau kegagalan sehingga anak dapat merasa didukung. Orangtua perlu menunjukkan
empati, dan kasih tanpa syarat kepada anak sehingga anak tidak merasa ditolak.
Orangtua harus menyadari bahwa dalam kekalahan/kegagalan anak, mereka telah
mencoba melakukan yang terbaik dan orangtua harus menghargai semua upaya
mereka, secara khusus saat anak mencoba untuk bangkit kembali meraih
kemenangan.
3. Orangtua dapat mengajarkan dan mendorong anak
untuk tetap bertekun. Ketekunan merupakan hal yang jarang didapati pada
anak jaman sekarang yang terbiasa dengan
pola instant. Namun pengalaman kekalahan, kegagalan, kesalahan dapat menjadi
momen terbaik untuk mengajarkan anak-anak tentang karakter ketekunan. Ketekunan
yang dipahami dengan benar oleh anak, akan membawa anak menghargai proses
dengan baik. Ketekunan membuat anak tidak mudah menyerah dengan kesulitan
apapun karena mereka akan menyadari bahwa kesulitan yang dihadapi dengan
keberanian akan membawanya pada hasil yang lebih baik. Tanpa ketekunan seorang
anak tidak akan pernah menghargai apapun yang diperolehnya. Melalui
ketekunanlah anak-anak akan belajar menghargai arti sebuah nilai, arti
perjuangan, proses dan ketekunan itu sendiri.
4. Berikan quality relationship pada anak-anak,
sehingga anak-anak tidak merasa sendirian. Kekalahan atau
kegagalan bagi seorang anak merupakan
sebuah penolakan, untuk itu orangtua perlu memberikan waktu khusus untuk
mendampingi anak sehingga tidak merasa sendirian dan tertolak. Kehadiran
orangtua akan memberikan arti tersendiri bagi anak. Anak tidak akan merasa
ditinggalkan, tidak merasa tertolak ataupun merasa hancur. Pengalaman ikut
merasakan suka dan duka anak-anak akan membawa orangtua semakin mengenal
karakter dan kepribadian anak-anak kita dan mempererat kebersamaan dengan
mereka. Dalam pengalaman suka dan duka seorang anak, orangtua harus tetap
terhubung dengan kehidupan mereka dengan mendalam. Pengabaian orangtua
merupakan sikap penolakan secara langsung dalam kehidupan mereka, karena
mengakibatkan anak merasa tidak aman dengan diri mereka sendiri dan dapat
memunculkan kecemasan dalam diri anak.
5. Orangtua dapat
mengajarkan harapan yang realistis kepada anak-anak. Seringkali
anak-anak memiliki gambaran keberhasilan, kemenangan, atau kesuksesan dalam bentuk yang tidak realistis.
Hal ini bisa dipengaruhi oleh media massa, mereka berpikir bahwa keberhasilan
dapat terjadi dalam waktu semalam, kemenangan dapat direbut tanpa pertempuran
dan bahkan tanpa luka sedikitpun. Mereka dapat berpikir pula bahwa kesuksesan
datang karena memiliki mimpi dan didoakan tanpa harus diupayakan. Sehingga
anak-anak tidak belajar dan tidak memahami apa itu ketekunan, kesabaran, kerja
keras, dan kerajinan. Yang mereka ketahui adalah bagaimana mereka hidup dan
terlayani dengan baik. Dengan mengajarkan harapan yang realistis, anak dapat
mengukur kekuatan untuk mencapai kemenangan tersebut dan juga anak dapat
memikirkan strategi untuk merebut kemenangan.
6. Orangtua
menolong anak untuk memiliki cara pandang yang alkitabiah dalam menyikapi kegagalan.
Apakah
yang anak anda pikirkan tentang kekalahan atau kegagalan yang dia alami? Apa
yang akan anak anda katakan tentang dirinya sejak saat itu? Bagaimana cara anak
anda menyikapi kekalahannya ketika anak lain bertanya tentang kekalahannya? Apa
yang anak anda pikirkan tentang Allah, pertumbuhan rohani, keadilan Allah,
kemenangan atau iman? Merupakan tanggung jawab orangtua untuk memuridkan
anak-anak mereka untuk memiliki cara pandang yang alkitabiah tentang kehidupan
termasuk tentang kekalahan. Hal ini penting karena orangtua harus menolong anak
untuk dapat memberikan respon yang alkitabiah disetiap peristiwa yang mereka
alami. Selain itu anak akan memasuki proses membangun fondasi kehidupan dalam
menyikapi pandangan dunia atau tekanan-tekanan dari teman-teman mereka yang
akan membuat mereka menjadi bingung tentang iman maupun hidup mereka jika
mereka tidak memiliki sudut pandang yang alkitabiah.
7. Orangtua harus
menolong anak untuk menjaga 5 hal yang tidak boleh hancur saat mereka mengalami
fase kekalahan, kegagalan atau kesalahan:
a.
Rasa
aman
b.
Perasaan
diri yang berharga
c. Pengharapan
d.
Kontrol
diri
e.
Impian
f. Iman
pada Yesus Kristus dan bahwa Kristus ada bersama mereka bahkan disaat mereka
terjatuh atau di saat berada dalam lembah kegagalan.
Dunia
ini berisi orang yang menang dan kalah tapi bukan berarti orang yang kalah
memiliki kualitas yang buruk. Kualitas
yang buruk adalah mereka yang kalah dan memilih untuk menyerah tanpa mau
memperbaiki dan mencoba untuk bangkit kembali. Seseorang yang mengalami
kekalahan, tidak akan selamanya kalah kecuali dia berhenti untuk berjuang.
Orang yang gagal tidak selamanya hidupnya pasti gagal, karena selama dia berani
untuk mengevaluasi hidupnya, dan berani untuk bangkit maka orang tersebut akan
mengubah kegagalan menjadi kemenangan. Orang yang berbuat kesalahan bukan
berati orang tersebut selamanya akan berbuat kesalahan karena ketika orang
tersebut dapat menemukan apa yang menjadi persoalan inti yang membuat dia
melakukan kesalahan dan dia berani mengakui dan berubah, maka kesalahan akan
berganti menjadi kemenangan yang gemilang.
Tuhan
tidak menciptakan orang-orang yang menyerah pada kekalahan, kegagalan ataupun
kesalahan karena Tuhan meletakkan kemampuan untuk mengelola kekalahan,
kegagalan dan kesalahan dalam diri setiap orang menjadi kemenangan. Kekalahan,
kegagalan, kesalahan menyadarkan bahwa manusia pada hakekatnya tidak bisa lepas
dari kebergantungannya pada Allah “karena di luar Aku (Yesus), kamu tidak dapat
berbuat apa-apa.” (Yohanes 15:4-5). Kalaupun orang percaya mengalami kegagalan,
hal itu terjadi untuk membuat orang percaya semakin matang dalam perjalanan
kehidupannya, karena melalui kegagalan disitulah diijinkan adanya proses pembentukan
karakter. Dalam proses kekalahan/kegagalan maka seseorang akan menggali dirinya
untuk menemukan potensi diri yang terpendam sehingga dia dapat menggunakan
potensinya untuk menghasilkan kemenangan.
“Menerima
kekalahan bukanlah akhir sebuah perjuangan, namun merupakan perjuangan
itu sendiri dimana kita dituntut untuk memberikan respon yang benar yakni sikap untuk bertanggung jawab
atas kekalahan dan mengubah kekalahan menjadi kemenangan yang layak kita terima.
* Tulisan ini saya dedikasihkan untuk orangtua yang sedang berjuang untuk mengembangkan karakter anak yang kuat yang tidak menyerah pada kekalahan atau pengalaman kegagalan yang berulang kali.
* Tulisan ini saya dedikasihkan untuk orangtua yang sedang berjuang untuk mengembangkan karakter anak yang kuat yang tidak menyerah pada kekalahan atau pengalaman kegagalan yang berulang kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar