Pendahuluan
Di tengah
arus modernisasi dan semangat individualis, menyebabkan kepedulian terhadap sesama menjadi tindakan
yang langka. Tanggung jawab untuk menumbuhkan dan mengembangkan karakter peduli
menjadi suatu hal yang harus direspon oleh setiap orang percaya. Alkitab
mencatat bagaimana Tuhan Yesus Kristus telah menjadi teladan bagi setiap orang
percaya untuk mengembangkan karakter peduli. Kepedulian Tuhan Yesus telah
menyembuhkan dan memulihkan orang banyak, menghadirkan makna baru bagi mereka
yang kesepian dan tertolak. Kerinduan Tuhan Yesus sendiri adalah ingin memakai
setiap orang percaya untuk menyatakan kabar baik dengan menyatakan kepedulian
pada setiap orang di tengah dunia yang kering akan kepedulian. Gereja Tuhan sudah saatnya menyatakan karakter
peduli sehingga dunia tahu bahwa Tuhan Yesus mengasihi dunia.
Keserupaan seperti Kristus
merupakan visi hidup dalam setiap orang percaya, dimana orang percaya memiliki
karakter seperti Kristus. Siapapun yang meletakkan visi menjadi serupa seperti
Kristus, hidupnya akan berbeda, termasuk cara memperlakukan orang lain, cara
berpikir dan berespon juga akan berbeda. Orang tersebut tidak akan tergoda
untuk menghakimi orang lain, tidak mengijinkan dirinya dikendalikan kemarahan
atau pola buruk yang lain, dan tidak akan terguncang sekalipun diterpa badai
dan banjir persoalan sekalipun. Visi yang telah mendarah daging turut pula
membentuk karakter seperti apa yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari visi
tersebut.
1.
Pengertian Karakter
Jika kita membahas tentang
karakter peduli maka yang menjadi sebuah pertanyaan sederhana adalah apakah
karakter itu? Tidak ada salahnya jika kita mengulas definisi dari karakter itu
sendiri. Karakter didefinisikan sebagai
sekumpulan trait positif yang
terefleksi dalam pikiran, perasaan, dan perilaku. Dan karakter terdiri dari
tiga komponen yakni pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan moral.[1]
Jadi jika membicarakan tentang karakter peduli, maka peduli merupakan salah
satu dari kumpulan trait positif yang terefleksi dalam pikiran, perasaan dan perilaku
seseorang
John dan Jim Dornan memberikan
gambaran dari pentingnya karakter bahwa karakter bersifat permanen, menjaga
fokus tetap pada tanggung jawab, menambah nilai pada banyak orang, membangun
warisan untuk masa depan, membangkitkan integritas dan respek, menjaga
seseorang tetap ada di sana.[2]
Karakter yang kuat dan positif
akan menghadirkan kesejahteraan pada pribadi yang memiliki karakter tersebut.
Orang yang berkarakter akan mudah dipercaya, memiliki rasa percaya diri yang
sehat karena dia menghargai hidupnya dan mudah memaknai dirinya sendiri
sehingga hidupnya akan mudah teraktualisasi bagi kepentingan orang banyak.
2.
Manusia Membutuhkan Karakter.
Karakter merupakan kekuatan dari
hidup seseorang, sehingga menjadikan orang tersebut memiliki ke-khas-an dalam
dirinya saat bersosialisasi dengan orang lain. Ketika karakter ditambah dengan
potensi diri/bakat maka hal itu akan menjadikan hidup seseorang berkualitas. Karakter
akan menjaga seseorang tetap berada dalam jalur yang benar; nilai-nilai moral
yang dianut masyarakat dan hidup sesuai dengan standar Firman Tuhan. Kepedulian,
kejujuran, hormat, rendah hati, sabar, tanggung jawab, sopan, dan lain-lain
yang kita kenal sebagai karakter, akan
membentuk seseorang menjadi matang/dewasa.
Semua orang membutuhkan karakter
karena setiap kita akan berinteraksi dengan orang lain; bagaimana kita
memperlakukan orang lain, bagaimana kita berbicara, bagaimana kita tuntas
menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab pribadi harus dapat kita pertanggungjawabkan
dihadapan manusia dan Tuhan. Tanpa karakter yang benar maka manusia akan
memperlakukan manusia yang lain dengan sewenang-wenang, tanpa penghargaan dan
tidak memanusiakan manusia lain. Tanpa karakter yang benar, manusia akan
menjadi kejam dalam memperlakukan orang lain. Kita perlu mengembangkan karakter
dalam diri setiap kita dan satu hal yang unik bahwa karakter tidak muncul
dengan sendirinya tapi bertumbuh melalui proses kehidupan. Karena itu Paulus
berkata bahwa hidup kita mengarah kepada keserupaan seperti Kristus (Roma 8:29)
“Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari
semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan
gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara
banyak saudara.” Karakter yang kita tumbuhkan dalam diri kita, yang salah
satunya adalah karakter peduli merupakan karakter Kristus yang akan bertumbuh
melalui proses dan tidak muncul secara instan.
3.
Memahami Karakter Peduli
Salah satu karakter yang harus
dikembangkan dalam diri murid Kristus
adalah karakter peduli. Karakter peduli harus menjadi karakter yang muncul
dalam diri setiap orang percaya di tengah dunia yang suka mengabaikan orang
lain dan memilih untuk mementingkan diri sendiri. Karakter peduli bukanlah
sikap yang ingin mencampuri urusan orang lain atau ingin menjadi pahlawan
kesiangan.
3.1 Apa
sebenarnya yang dimaksud karakter
peduli?
Menurut
Kamus besar Bahasa Indonesia, peduli adalah mengindahkan; memperhatikan;
menghiraukan.[3]
Jadi, peduli merupakan sikap
mengindahkan atau memberikan perhatian terhadap kebutuhan orang atau
menghiraukan keadaan orang lain yang membutuhkan pertolongan.
Karakter
peduli merupakan bentuk kematangan dalam diri seseorang karena dia mampu
melepaskan kepentingan dirinya sendiri dan mengarahkan diri pada kepentingan
orang lain. Cara melihat dan
memperlakukan orang lain tidak berputar pada fokus memuaskan dirinya sendiri.
Karakter peduli bukan tindakan untuk melepaskan orang lain dari tanggung jawab
pribadinya, tetapi sebuah perhatian yang diwujudkan dalam tindakan untuk
meringankan beban orang lain atau
tindakan memberikan dukungan kepada orang lain dengan cara yang tepat. Rasul
Paulus memberikan gambaran singkat namun utuh tentang karakter peduli Tuhan Yesus
dimana Dia telah menjadi teladan yang tepat tentang karakter peduli ini (Filipi
2:4-8);
4
dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya
sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
5 Hendaklah kamu dalam hidupmu
bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
6
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah
itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
7
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia.
8
Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan
taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Kita
bisa menemukan bahwa musuh dari karakter peduli adalah kepentingan diri
sendiri. Kepentingan diri sendiri telah mengkerdilkan peran orang percaya bagi
dunia untuk menjadi berkat. Selain itu kepentingan diri sendiri juga telah
merusak persekutuan orang percaya dimana mereka tidak lagi bisa sepikir, sehati
dan setujuan. Ketika orang percaya tidak bisa sepikir, sehati dan setujuan maka
yang terjadi adalah perpecahan dalam tubuh Kristus.
Karakter peduli tidak bisa
dilepaskan dari dua unsur penting
lainnya yakni belas kasihan dan empati.
Belas kasihan dibangun atas dasar empati dan kepedulian merupakan tindakan
nyata dari belas kasihan. Empati adalah kemampuan untuk secara akurat
merefleksikan perasaan orang, pengalamannya, dan perkataannya. Empati mampu
menciptakan situasi aman dimana orang merasa dipahami, dihargai dan dikasihi.[4] Seseorang menjadi peduli karena dia mampu
menempatkan kakinya di sepatu orang lain sehingga dia mampu merasakan dan
merefleksikan perasaan orang lain dan mampu memandang dari kaca mata belas
kasihan.
Namun ketika empati dihancurkan
oleh orang-orang yang tidak disukai atau oleh kekecewaan yang mendalam maka
empati bisa berubah menjadi sifat kesenangan untuk menikmati kemalangan orang
lain.[5]
Dalam beberapa kasus, kita dapat
menjumpai beberapa orang yang konflik dalam relasi yang menyebabkan kepahitan
yang mendalam dan berkepanjangan. Sehingga ketika Si A mengalami penderitaan/krisis maka si B
akan bersukacita dan menikmati penderitaan si A, si B bahkan mensyukuri dengan
menggunakan atau meminjam “bahasa rohani” bahwa Allah telah menolong si A atau
Allah telah membela dirinya.
Sebenarnya karakter peduli adalah
tentang bagaimana kita saling memperlakukan sesama kita dengan baik.
Memberikandukungan, bersikap baik hati, mau berbagi, menolong dan memberi,
hal-hal ini merupakan cara kita menunjukkan bahwa kita peduli.[6]
Kepedulian kita kepada orang lain, dan lingkungan merefleksikan kedalaman hati
kita. Karena itu, karakter peduli memiliki beberapa hal penting dan mendasar:
a.
Karakter peduli menunjukkan bahwa
seseorang sadar akan hidup untuk berbagi. Orang dengan karakter peduli berusaha
membagikan kehidupan yang lebih baik kepada orang lain dan tindakan peduli
tersebut tidak dibuat-buat atau dipaksa oleh orang lain melainkan sebuah
kesadaran diri yang menyadari akan identitasnya sebagai anak Allah, menyadari
akan tujuan hidupnya dan menyadari bahwa peduli merupakan karakternya.
b.
Karakter peduli merupakan
gambaran dari potret diri yang sehat. Kepedulian tidak boleh lahir dari kondisi jiwa yang sakit
(meskipun hal ini bisa terjadi); dimana ada dorongan pencarian kepuasan akan
pengakuan dari orang lain, pemenuhan
tuntutan dari agama yang akhirnya dilakukan dengan terpaksa, ketakutan jika dikatakan ‘tidak rohani’, dll.
c.
Karakter peduli tidak
mengharapkan adanya pamrih atau adanya agenda yang tersembunyi. Kepedulian yang ditunjukkan haruslah
didorong oleh ketulusan hati untuk melihat hal-hal yang baik serta dapat
dirasakan oleh orang lain dan tidak lebih dari itu. Kepedulian tidak pernah
membuat perhitungan untung atau rugi,
melainkan membuat suatu pengorbanan diatas kepentingan diri sendiri. Tidak ada
syarat yang diajukan ketika tindakan kepedulian dinyatakan. Layak tidaknya
seseorang menerima kepeduliannya diukur dari kasih Kristus yang telah peduli
dengan dirinya. Dalam hal ini karakter peduli pun dapat didorong oleh
kepentingan diri untuk memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya., Namun, sebuah
karakter peduli yang sejati tidak memiliki agenda tersembunyi apapun.
d.
Karakter peduli merupakan hasil
dari proses pembentukan karakter Kristus dalam diri seseorang dan merupakan
hasil pengenalan pribadi tentang Kristus serta pemahaman yang mendalam tentang
hidup yang dituntun oleh Roh Kudus. Jadi karakter peduli tidak bisa muncul dalam waktu semalam dan
langsung permanen dalam hidup seseorang, melainkan melewati proses pembentukan.
Karena itu karakter peduli harus terus dikembangkan dalam diri setiap orang
percaya sehingga menjadi sebuah gaya hidup dan dapat dirasakan oleh orang lain
dan lingkungan. Barbara menjelaskan bagaimana karakter peduli dapat terlihat
melalui 4 hal:[7]
1)
Dengan perkataan kita. Kita dapat mengungkapkan
kepedulian kita melalui kata-kata. Kita dapat memilih kata-kata yang tepat yang
akan kita sampaikan kepada orang lain ketika kita sedang berbicara. Kata-kata
peneguhan/penguatan dan bukan kata-kata yang menjatuhkan merupakan kata-kata
yang dapat mewakili kepedulian kita terhadap kesakitan orang lain.
2)
Dengan Perbuatan kita. Perbuatan memberikan pesan yang lebih kuat dibandingkan
dengan kata-kata. Kepedulian kita bisa dalam bentuk pelayanan, tindakan mau membantu terhadap orang yang
membutuhkan bantuan, atau menyediakan waktu 1 jam untuk mendengarkan orang yang
kesepian. Dapat pula dalam bentuk
tindakan penanaman pohon, menjaga lingkungan tetap bersih, dll. Jika berkaitan
dengan kepedulian pada diri sendiri dapat terlihat dengan menjaga pola makan
dan pola hidup yang sehat.
3)
Dengan Pemikiran kita. Seseorang dapat berbuat baik
bagi orang lain hanya dengan memikirkan hal-hal yang baik tentang orang tersebut.
Pemikiran kita yang positif dan penuh kepedulian yang kita nyatakan akan dapat
dirasakan oleh orang lain. Paulus mendorong kita untuk kita tetap berada dalam
pemikiran yang benar, “Jadi akhirnya,
saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua
yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Filipi 4:8)
4)
Dengan Pemberian kita. Sikap berbagi merupakan bagian dari
kepedulian, dan kita bisa lakukan tidak hanya pada saat acara-acara tertentu
seperti natal, paskah, bulan misi, dll, namun bisa kita lakukan kapan pun.
3.2
Keuntungan Dari Memiliki Karakter
Peduli
Saat seseorang memiliki karakter
peduli, terlihat sepertinya ada banyak hal yang dikorbankan dari sisi
kehidupannya; baik hal materi, waktu, tenaga, pemikiran dan mungkin kehilangan
kesenangan pribadi. Namun, bila kita perhatikan dengan seksama dan kita alami
secara pribadi (mengembangkan karakter peduli), maka kita akan mendapati ada
banyak keuntungan yang kita peroleh/nikmati saat memiliki karakter peduli. Beberapa
keuntungan dari mengembangkan karakter peduli:
a.
Mengalami pertumbuhan kedewasaan
secara rohani, emosi dan sosial. Saat seseorang
mengenal Tuhan Yesus maka akan diikuti dengan perubahan karakter dan salah
satunya adalah karakter peduli akan terbentuk dalam kehidupannya. Keserupaan
dengan Kristus akan berproses dalam diri orang yang mengenal Tuhan Yesus.
Hidupnya akan dituntun oleh Roh Kudus untuk mengalami pertumbuhan secara rohani
yang seiring waktu akan terus didewasakan. Karakter peduli akan terasa karena
dengan kepedulian kasih Kristus yang dimilikinya bisa dialirkan kepada semua
orang khususnya mereka yang sedang mengalami kesakitan, penderitaan dan
ketidak-adilan. Kepedulian juga membentuk kita semakin dewasa secara emosi
karena kita bisa mengelola emosi kita dengan baik, mampu merasakan emosi orang
lain yang sedang menderita. Selain itu kedewasaan secara sosial juga bertumbuh
karena dengan karakter peduli kita bisa mengembangkan relasi kita dengan orang
lain, kita bisa berinteraksi dengan orang-orang baru dan kita semakin terlatih
dalam mengembangkan relasi.
b.
Semakin mengalami kedalaman
pemahaman tentang kehidupan. Hal ini terjadi karena kedalaman pemahaman berhubungan langsung
dengan penerapan dari apa yang kita pelajari, bahkan kita juga mengalami
pemahaman baru dari apa yang tidak pernah kita ketahui sebelumnya. Karena
penerapan memindahkan pengetahuan dari kepala ke hati. Pengetahuan tanpa adanya
penerapan maka hanya akan berakhir di dalam arena perdebatan dan munculnya
banyak komentator. Melalui kepedulian terhadap orang lain, kita semakin dibawa
untuk mengenali lebih dalam sisi kehidupan orang lain; baik perjuangannya, cara
berpikirnya, kekuatan dan kelemahan pribadinya. Dengan peduli kepada diri
sendiri, kita juga bisa mengenali secara lebih mendalam tentang kehidupan itu
sendiri, bahkan tentang diri kita dalam perspektif yang lebih luas.
c.
Memberikan waktu perhentian sejenak
untuk kita bisa memeriksa bagian lain dari hidup kita.
Terkadang ada bagian dalam diri kita yang tidak mampu kita lihat dan
melalui karakter peduli kita ditolong untuk mampu melihat bagian lain dari
hidup kita. Saat kita peduli dengan kesakitan orang lain, tanpa sadar kita
mampu memeriksa hidup kita yang terlalu nyaman bahkan cenderung angkuh dengan
orang lain atau terlalu keras dalam cara memperlakukan diri kita sendiri. Kita
bisa belajar untuk mengucap syukur dengan keadaan kita yang mungkin selama ini
kita sulit untuk mengucap syukur.
d.
Menjadikan hidup kita lebih
efektif. Melalui
karakter kepedulian kita akan semakin lebih efektif dalam membangun relasi
dengan sesama kita, kita bisa menemukan hal-hal yang terbaik dari dalam diri
ktia maupun dalam diri orang lain. Hidup
menjadi lebih nyaman ketika kita peduli dengan alam, dimana kita dapat
mengelola alam dengan penuh tanggung jawab. Keefektifan hidup kita akan
melahirkan inspirasi bagi orang lain sehingga orang lain dapat dipengaruhi oleh
kepedulian kita sehingga lingkaran pengaruh kita akan semakin membesar. Kita
dapat menyentuh kehidupan orang lain melalui hidup yang berbagi.
e.
Mengubah cara pandang kita dalam
melihat tuaian. Dalam
kepedulian-Nya yang besar yang didorong oleh belas kasihan , Tuhan Yesus
melayani orang banyak dan Dia melihat
adanya tuaian. 36 Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati
Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar
seperti domba yang tidak bergembala. 37
Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: "Tuaian memang banyak, tetapi
pekerja sedikit. 38 Karena itu mintalah
kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk
tuaian itu." (Matius 9:36-38) Kepedulian
akan mengubah cara pandang kita untuk tidak lagi melihat pada kepentingan diri
sendiri tapi berpindah kepada kebutuhan orang lain akan keselamatan. Barbara A.
Lewis menyatakan hal yang menarik, “pandanglah sekelilingmu, maka akan kamu
lihat banyak peluang untuk memberi dan melayani.”[8]
f.
Menjadikan kita lebih kreatif. Kepedulian membuat seseorang
dapat bertindak kreatif untuk mewujudkan apa yang bisa dilakukan. Kepedulian yang muncul merupakan bagian
penting yang bisa mendorong atau melecut kemampuan kreatif manusia. Kepedulian
pada akhirnya memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu dengan cara yang
terkadang tidak terduga/spontan dan menghasilkan sesuatu yang kreatif.
4.
Belajar Kepedulian dari Tuhan
Yesus
Di dalam Injil Lukas 10:25-37
dikisahkan tentang seorang ahli taurat yang berusaha menjebak Tuhan Yesus dengan
pertanyaan “apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Tuhan
Yesus menjawab pertanyaan tersebut dengan memberikan perumpamaan tentang orang Samaria
yang memiliki karakter murah hati. Karakter murah hati ini yang membuat orang
Samaria tampil beda dengan sikap dari seorang imam ataupun orang Lewi. Dan
karakter murah hati yang dimiliki oleh orang Samaria menyebabkan perumpamaan
Tuhan Yesus menjadi seru, menohok dan menyadarkan para pendengarnya, khususnya
seorang ahli taurat yang berusaha menjebak Yesus dengan pertanyaan, bahwa tidak cukup kita memiliki agama,
memiliki hukum dan aturan. Karena tanpa karakter kemurahan hati dan kepedulian
maka semua nafas keagamaan akan terhenti, hukum dan aturan akan menjadi mati.
Dalam perumpamaan tersebut, orang
Samaria yang murah hati menolong orang asing yang telah dipukuli dan dirampok
habis-habisan dan tergeletak dengan luka parah di pinggir jalan. Dua orang sebelumnya melewati begitu saja
tanpa ada kepedulian sedikitpun untuk menolong.
Hal yang membedakan dari orang Samaria adalah bahwa dia tidak hanya
sekedar memiliki karakter murah hati tapi juga kebaikan yang dibalut oleh
karakter peduli. Tanpa kepedulian maka kemurahan tidak akan teralirkan dengan
baik. Kepedulian yang menyebabkan kebaikan orang Samaria mengalir dengan benar
ke arah yang tepat. Kepedulian yang menggerakkan orang Samaria yang murah hati
bertindak untuk menolong orang yang terluka.
Kemudian Yesus mengakhiri cerita
itu dengan pertanyaan ini, "Dari
ketiga orang itu yang manakah, menurut pendapatmu, yang bertindak sebagai
sesama dari orang yang dirampok itu?" (ayat 36 - BIS). Ketika kita
kehilangan karakter peduli terhadap sesama, maka kita akan cenderung “mengecualikan”
atau memperlakukan secara berbeda orang-orang yang tidak memenuhi kriteria kita
untuk tidak masuk dalam kelompok orang yang kita pedulikan. Kita akan
menganggap mereka sebagai orang yang
bukan “sesama” kita. Yesus sedang mengajarkan bahwa ketika seseorang kehilangan
karakter peduli maka dia akan cenderung mengabaikan orang lain bahkan ketika
orang itu nyaris mati.
Kedewasaan rohani tidak diukur
dari seberapa hebatnya seseorang melayani atau seberapa banyak pengetahuan
alkitab yang dia miliki, melainkan mereka yang peduli akan keadaan orang lain
yang membutuhkan pertolongan dan mereka
hadir disitu untuk menyentuh sisi kebutuhan orang lain. Bersembunyi dibalik
alasan merupakan cara yang sering dipakai orang-orang yang tidak memiliki
karakter peduli. Mereka menyimpang di
jalan lain atau mereka beralasan “aku tidak mengetahui peristiwa itu.” Namun
yang pasti mereka (seorang imam dan seorang lewi) yang mengetahui hukum Tuhan,
namun gagal mempraktekkan apa yang mereka ketahui. Yakobus mengatakan iman
tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati (Yakobus 2:14-26)
Kisah lain tercatat dalam Yohanes
4, yang mengisahkan tentang keteladanan Tuhan Yesus dimana kepedulian Tuhan Yesus
terlihat pada saat Dia meluangkan waktu khusus untuk berbicara dengan seorang
wanita Samaria. Kepedulian Tuhan Yesus pada wanita Samaria ditunjukkan dengan
Dia menyediakan waktu untuk bertemu dengan wanita Samaria. Kepedulian Tuhan Yesus
memberikan rasa aman pada wanita Samaria untuk menceritakan keadaannya.
Pengenalan yang datang dari relasi yang dibangun, pertanyaan maupun pernyataan
yang diajukan Tuhan Yesus sangat menarik dan adanya penggambaran, simbol, serta
ilustrasi merupakan kreatifitas yang datang dari kepeduian Tuhan Yesus.
Kepedulian Tuhan Yesus di siang hari di dekat sumur Yakub menyebabkan hidup seorang
wanita yang kosong dan kesepian diubahkan dan menjadi saksi Kristus bagi banyak
orang di desanya. Kepedulian Tuhan Yesus tidak menghadirkan penghakiman pada
wanita Samaria yang berulangkali berganti pasangan. Tuhan Yesus peduli karena
wanita Samaria ini adalah jiwa yang juga membutuhkan keselamatan dan pemulihan
diri. Ada rasa haus yang menguasai wanita Samaria dan Tuhan Yesus peduli dan
ingin memberikan air kehidupan yakni diri-Nya.
Masih ada banyak kisah keteladan
Tuhan Yesus berkaitan dengan karakter peduli yang Dia miliki. Namun, yang
menarik adalah, antara pengajaran dan
kehidupan Tuhan Yesus sendiri tidak bertentangan, dengan kata lain apa yang
diajarkan telah dihidupi terlebih dahulu oleh Tuhan Yesus. Pengajaran dan
hidup-Nya memberikan ketenangan dan kesegaran dalam jiwa pendengar-Nya.
Karakter kepedulian-Nya membuat setiap orang yang percaya kepada-Nya merasa
aman dan nyaman. Keteladanan Tuhan Yesus
pada masa pelayanan-Nya di bumi menunjukkan kepada kita betapa kuat belas
kasihan-Nya pada manusia yang terlihat melalui kepedulian-Nya.
Daniel Goleman mengatakan bahwa
belas kasihan dibangun atas dasar empati, yang pada gilirannya membutuhkan
fokus terhadap orang lain. Bila fokus itu terserap pada diri sendiri, kita
semata tidak akan memperhatikan orang lain; kita bisa saja berlalu tanpa peduli
sama sekali terhadap kesusahan mereka. Namun setelah memperhatikan mereka, kita
bisa memberikan perhatian, merasakan perasaan dan kebutuhan mereka, serta
menindaklanjuti kepedulian kita.[9]
5.
Terkikisnya karakter peduli dalam
diri orang percaya.
Meskipun karakter peduli
merupakan karakter yang harus ada dalam diri orang percaya, namun yang kita
lihat hari ini bahwa kepedulian telah terkikis dalam diri orang percaya.
Kepedulian pada orang lain dan lingkungan telah terkikis oleh kepentingan diri
sendiri. Cara hidup orang percaya mulai
mengalami banyak perubahan dan mulai menjadi sama dengan orang dunia. Sikap
“masa bodoh”, akan penderitaan orang lain, menyebabkan orang percaya mulai
tidak peka akan sekelilingnya. Khotbah-khotbah di mimbar tidak lagi berbicara
tentang salib Kristus, pertobatan, penginjilan, namun lebih banyak berisi
tentang bagaimana hidup sukses dan berkelimpahan sebagai orang Kristen. Umat diajar untuk mengejar materi dan
mengabaikan orang lain.
Paulus dalam suratnya kepada
Timotius, memberikan gambaran tentang keadaan manusia di akhir jaman (2
Timotius 3:1-5); dimana mereka mencintai
dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, membual dan menyombongkan diri, pemfitnah,
berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak
mempedulikan agama, tidak tahu
mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang
diri, garang, tidak suka yang baik, suka
mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu
dari pada menuruti Allah. Namun secara lahiriah mereka masih menjalankan ibadah
mereka. Artinya bahwa akan ada yang beribadah di gereja tapi cara hidup dan
karakter mereka bukan lagi seperti Kristus. Ibadah hanya menjadi sebuah topeng
untuk menutupi perilakunya.
Sikap kepentingan diri sendiri yang menguat dalam gereja harusnya
kita waspadai, karena seperti lintah yang menghisap, kepentingan diri sendiri
akan menghancurkan semua potensi dan kekuatan
gereja. Jika karakter peduli hilang dari dalam diri orang percaya maka
otomatis belas kasihan dan empati akan ikut lenyap dan itu artinya penginjilan
akan terhenti. Maka amanat agung Tuhan Yesus tidak akan berjalan dengan baik.
Daud
Kurniawan mengatakan, bahwa untuk menjadi berkat bagi banyak orang, kita perlu
mengangkat pandangan dan pikiran agar tidak
hanya memikirkan kepentingan diri sendiri atau kelompok kita. Kalau kita
semakin dekat kepada Tuhan, kita memandang semua orang dan seluruh dunia dari
sudut yang lebih prihatin dan lebih penuh kasih.[10]
Jadi dibutuhkan keberanian untuk
mempertanyakan “apakah saya hari peduli dengan orang lain dan lingkungan?”
ataukah “saya telah terhisap dalam keserupaan dengan cara hidup dunia?”
6.
Bagaimana Mengembangkan Karakter
Peduli?
Karakter peduli datang melalui
proses dan bukan datang dari sebuah keajaiban doa semalam. Jadi tidak ada
alasan bahwa hanya orang-orang tertentu yang memiliki karakter peduli, semua orang-orang percaya atau murid Kristus harus memiliki dan
mengembangkan karakter peduli dan belajar dari keteladan Yesus Kristus yang
merupakan Tuhan sekaligus Guru. Orang percaya dapat mengembangkan karakter
peduli setiap hari:
a.
Peduli kepada sesama. Kita dapat menunjukkan
kepedulian kita kepada sesama dengan membuat orang lain mengalami kehidupan
yang berarti. Kita harus meninggalkan cara hidup yang tidak peduli dan yang
merugikan orang lain: keengganan untuk mengantri, tidak peduli akan keselamatan
orang lain dengan mengendarai kendaraan tanpa menyalakan lampu di malam hari,
dll.
b.
Peduli kepada lingkungan. Kerusakan alam seperti darurat
asap karena hutan yang terbakar baik di sumatera maupun di kalimantan, atau
banjir yang merupakan peristiwa tahunan, lebih banyak disebabkan karena
minimnya kepedulian manusia pada kesejahteraan alam. Manusia banyak
mengeksploitasi hutan berlebihan tanpa peduli untuk mereboisasi ulang,
kebiasaan membuang sampah sembarangan merupakan contoh ketidakpedulian yang
tampak di depan mata.
c.
Peduli kepada diri sendiri. Dalam hukum kasih yang kedua
dimulai dengan kalimat “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Kegagalan mengasihi diri sendiri menjadi awal persoalan dalam mengasihi sesama.
Ketidak pedulian terhadap diri sendiri cenderung terjadi dalam bentuk
mengembangkan pola hidup yang tidak sehat, kita mengabaikan keseimbangan antara
bekerja/melayani dengan istirahat, dll
Ada 3 tempat penting dimana orang
percaya dapat mengembangkan karakter peduli:
1.
Pendidikan karakter peduli dimulai
dari rumah. Pendidikan
karakter harusnya dimulai dari rumah dan dimulai dari orangtua yang mengajarkan
karakter peduli kepada anak-anak sejak dini. Program pendidikan karakter harus
diagendakan di dalam pengasuhan anak. Namun yang harus disadari bahwa orangtua
yang mengajarkan karakter peduli dituntut untuk terlebih dahulu telah memiliki
dan menghidupi karakter peduli sebelum diajarkan kepada anak-anaknya. Orangtua
tidak bisa menuntut anak-anak memiliki karakter peduli sementara orangtua
sendiri tidak memiliki. Kekuatan dari teladan hidup lebih kuat berbicara kepada
anak-anak. Beberapa hal ini dapat menolong orang tua dalam mengembangkan
karakter peduli pada anak:
a.
Para ayah
dan ibu dapat membuat peran sebagai orangtua menjadi peran yang menyenangkan
bagi anak. Tugas pengasuhan akan menjadi ringan jika orangtua memandang peran
tersebut sebagai tanggung jawab yang menyenangkan. Dan ketika anak-anak melihat
orangtua mereka bersukacita dalam menjalan perannya sebagai orangtua, anak-anak
juga akan membuka diri untuk diasuh dan dididik oleh orangtua mereka. Dan kepedulian
orangtua kepada anak-anak dapat ditunjukkan disaat mengasuh. Jika kita menelaah
kitab Ulangan 6:4-9 tentang bagaimana Tuhan memerintahkan orangtua untuk
mengajarkan anak-anak mereka berulang-ulang dan disemua tempat, hal ini
menunjukkan bagaiamana peran orangtua yang sangat peduli terhadap anak harus
ditunjukkan, sehingga anak-anak dapat
merasakan bahwa mereka dipedulikan oleh orangtua mereka sehingga
anak-anak dapat belajar bersikap sama untuk peduli kepada orangtua. Proses
pembelajaran karakter peduli akan terjadi sangat natural sekali kepada
anak-anak.
b.
Orangtua
dapat mengkomunikasikan tentang karakter peduli kepada anak-anak dalam bentuk
cerita/dongeng, menceritakan ulang karakter kepedulian tokoh di alkitab, dll
dengan cara-cara yang kreatif. Jika anak sudah remaja, orangtua dapat
mendiskusikan film-film yang mereka tonton, lirik lagu yang mereka dengarkan
atau membicarakan bersama tentang pandangan mereka tentang sikap dalam
pertemanan, kondisi sekolah, dll. Mengkomunikasikan hal ini dapat dilakukan di
ruang keluarga atau di tempat tidur sebelum mereka tidur sehingga orangtua juga
dapat membangun kelekatan dengan anak-anak.
c.
Orangtua
dapat pula melatih anak-anak masuk dalam praktek nyata karakter peduli (program
keluarga) dengan mengajak anak-anak bersentuhan langsung dengan bentuk
kepedulian: memberikan bantuan untuk korban bencana alam, mengunjungi teman
yang sedang sakit, mengumpulkan pakaian pantas pakai dan memberikan kepada
orang lain yang membutuhkan, kunjungan ke panti asuhan, dll.
d.
Memperkuat hubungan- hubungan dalam keluarga dengan
mengajarkan nilai kepedulian antar anggota keluarga; bagaimana mereka saling
menghormati satu dengan yang lain,
berkata-kata dengan baik tanpa melukai, mengajarkan bahwa setiap orang
di dalam rumah merupakan orang penting dan dihargai sebagai satu pribadi dan
tidak boleh direndahkan, saling memberikan dukungan sebagai satu keluarga.
e.
Menjaga
kehangatan keluarga (home sweet home).
Sebagaimana diketahui, bahwa kehangatan (warmth)
merupakan salah satu dimensi dalam pengasuhan yang menyumbangkan akibat-akibat
positif bagi perkembangan. Kedekatan merupakan aspek penting dalam kehangatan
yang memprediksikan kepuasan pengasuhan dan keterlibatan anak dalam aktivitas
keluarga.[11]
Kehangatan keluarga dapat tercipta jika suami istri dapat menjaga keharmonisan pernikahan mereka
sehingga anak-anak akan dipengaruhi oleh keharmonisan pernikahan orangtua
mereka. Hal yang sangat menakutkan bagi anak adalah ketika orangtua bercerai.
Perceraian mengajarkan kepada anak-anak bahwa ayah dan ibu mereka sudah tidak
peduli lagi satu sama lain. Karena itu keharmonisan pernikahan suami istri akan
menjadi kontribusi besar untuk anak-anak belajar tentang karakter peduli.
Kehangatan keluarga menjadikan suasana belajar yang nyaman bagi anak-anak untuk
belajar tentang apapun termasuk belajar tentang karakter peduli.
2.
Sekolah juga merupakan tempat pendidikan
karakter peduli. Sekolah
merupakan rumah kedua bagi anak-anak karena waktu mereka lebih banyak habis di
sekolah. Di sekolah mereka belajar berelasi dengan orang lain dan menjadi
mengenal karakter teman-teman mereka yang berbeda. Disitulah mereka belajar
memahami, peduli dan berempati tanpa memaksakan kepentingan sendiri. Guru
memainkan peran penting dalam pertumbuhan karakter anak-anak. Memilih sekolah yang tepat dimana lingkungan
sekolah yang kondusif merupakan hal penting bagi orangtua. Sekolah yang
memiliki visi pengembangan karakter Kristus dan tidak hanya mengedepankan sisi
akademik saja harus menjadi pertimbangan orangtua dalam pemilihan sekolah.
Menurut Mary Setiawani, bukan hanya prestasi atau nilai saja yang
dipentingkan tetapi juga tingkah laku secara lahiriah dipentingkan. Yang
penting juga bukan hanya hasil belajar tetapi justru lebih kepada proses
belajar. Karena mementingkan proses belajar berarti mementingkan apa yang
terbaik di dalam diri anak, dimana anak bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
dirinya sendiri, terhadap orang lain dan terhadap Tuhan.[12]
Tidak ada yang berbeda dengan mahasiswa, kampus merupakan tempat
pendidikan karakter peduli. Yang membedakan adalah mahasiswa memiliki cara
berpikir yang sudah matang dibandingkan dengan anak-anak pelajar, dapat membuat
keputusan dan bertanggung jawab sehingga pembelajaran datang dari kesadaran
diri dan dari arah/tujuan hidup yang sudah diketahui. Sebagaimana di Sekolah
Tinggi Teologi Tawangmangu, mahasiswa tinggal di asrama, maka proses
pembentukan karakter peduli sangat kuat. Hidup bersama dalam satu kamar, setiap
hari belajar dan makan bersama, mengalami dan menyelesaikan konflik, menjadikan
mahasiswa mengenal satu sama lain, dan karakter peduli mereka terbangun dan terasah.
3.
Pengajaran karakter juga
disuarakan oleh gereja.
Pengajaran
karakter peduli merupakan salah satu tanggung jawab para pendeta untuk
disuarakan dari mimbar. Yesus mengajarkan keseimbangan dalam hidup bahwa hidup
yang sesungguhnya adalah mengasihi Tuhan, mengasihi sesama dan mengasihi diri
sendiri. Para pendeta harus mengajarkan kepada umat bahwa karakter peduli merupakan bagian dari
pertumbuhan rohani. Umat harus
ditantang peduli kepada sesama dan lingkungan mereka saat mereka terjun dimasyarakat,
sehingga hidup mereka menjadi kesaksian.
Penutup
Karakter
peduli merupakan pernyataan dari karakter kerajaan Allah, bagaimana Allah merelakan
Anak-Nya Yesus Kristus turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia.
Kepedulian-Nya kepada kita telah mengantarkan kita untuk juga peduli dengan
orang lain dan lingkungan dengan kasih-Nya. Karakter peduli seharusnya menjadi
bagian dari identitas kita sebagai garam
dan terang dunia. Kepedulian kita terhadap kebusukan dunia menggerakkan kita
untuk menggarami dan kepedulian kita terhadap kegelapan dunia memanggil kita
untuk menghadirkan terang. Suatu saat kepedulian kita akan mengantar kita kepada
kemuliaan Tuhan Yesus Kristus.
Matius 25:34-36,40
Dan Raja itu akan berkata kepada
mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari,
hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah
Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab
ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika
Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika
Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika
Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika
Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Dan
Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku
yang paling hina ini, kamu
telah melakukannya untuk Aku.
[1]
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam
Keluarga, Jakarta: Kencana , 2012, hal. 94
[2]
John C. Maxwell & Jim Dornan, Menjadi
Orang yang Berpengaruh, Jakarta: Harvest Publication House, 1997, hal. 23
[3]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, hal. 740
[4]
Michael K. Simpson, Unlocking Potensial,
Jakarta: Dunamis Publishing, 2014, hal. 24
[5]
Ibid., hal. 124
[7]
Ibid,. hal. 27-29
[9]
Daniel Goleman, Focus. Pendorong
Kesempurnaan yang Tersembunyi, Jakarta: Gramedia, 2015, hal. 122
[10]
Daud Kurniawan, Kerajaan Allah diantara
Kita, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2006, hal. 412
[11]
Sri Lestari, Psikologi Keluarga.
Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga, Jakarta: Kencana ,
2012, hal. 62
[12]
Mary Setiawani & Stephen Tong, Seni
Membentuk Karakter Kristen. Hikmat Guru & Ayah Bunda, Surabaya:
Momentum, 2010, hal. 25-26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar