Jika kita menonton berita di telivisi
maupun membaca koran, kita akan mendapati setiap hari ada berita kekerasan,
entah itu verbal maupun fisik (dari pemukulan sampai pada pembunuhan), ada pula
berita tentang tawuran pelajar maupun tawuran antar kelompok masyarakat. Orang
menjadi mudah sekali terperangkap pada kemarahan yang tidak terkontrol sehingga
melukai orang lain. Kompleksitas persoalan manusia ditopang oleh angka
kemiskinan semakin memperkuat orang-orang mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya.
Namun yang menjadi akar persoalannya adalah hilangnya kemampuan manusia dalam mengelola
emosinya. Kemampuan ini yang disebut oleh Daniel Goleman sebagai
kecerdasan emosi, dimana seseorang mampu
mengelola emosinya dengan baik.
Orang-orang yang mampu mengelola emosinya
dengan baik menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, akan
terlihat dengan ciri-ciri: memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan
kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.
Saya berpikir bahwa ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi
masyarakat hari ini, untuk menjadi cerdas
secara emosi bukan hanya cerdas secara spiritual maupun secara
intelektual. Karena tanpa memiliki kemampuan mengelola emosi, seseorang yang
pintar/cerdas sekalipun akan terlihat menjadi bodoh ketika terperangkap dalam
nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak. Kecerdasan akademis
sedikit sekali kaitannya dengan
kehidupan emosional.
Dalam hal ini kemampuan mengelola emosi
perlu juga dimiliki oleh para hamba Tuhan/pendeta termasuk kepada jemaat yang dipimpinnya.
Mengapa? Karena dalam pelayanan, para hamba Tuhan/pendeta sama halnya dengan
jemaat, menghadapi persoalan-persoalan yang berat dalam pelayanan. Para hamba
Tuhan harus menampung persoalan-persoalan jemaat dan menolong jemaat untuk
keluar dari permasalahan mereka, beban pelayanan pun menuntut waktu, tenaga dan
pikiran cukup banyak. Selain itu hamba Tuhan harus memanage gereja dengan visi
yang harus direalisasikan, belum lagi harus menyediakan waktu untuk
keluarganya. Disinilah kemampuan mengelola emosi sangat dibutuhkan. Ketika
seorang hamba Tuhan tidak mampu mengelola emosinya, maka kita akan mendapati
seorang hamba Tuhan yang dikenal dengan “Pendeta yang suka marah-marah atau
mudah meledak”, “hamba Tuhan yang mudah tersinggung”, “hamba Tuhan yang ringan
tangan dan suka untuk memaki orang lain di depan orang banyak”, “hamba Tuhan
yang ngambek”, “hamba Tuhan yang suka memukul meja atau berteriak saat rapat
gereja atau rapat sinode (karena ketidakpuasan)” dan mungkin perilaku-perilaku
impulsif yang lain. Sehingga tanpa kita sadari kita memasang label pada diri
kita sendiri sehingga orang lain “memaklumi” dan tak jarang sedikit orang yang
mau mendekat/bergaul.
Dalam pelayanan penggembalaan, seringkali menjumpai model/tipe jemaat, dan menariknya ada orang dengan model
yang selalu dirudung masalah dan mereka sepertinya tidak mau keluar dari
masalahnya. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tenggelam dalam
permasalahannya sendiri dan seringkali mereka dikuasai atau dikendalikan oleh
emosinya. Suasana hatinya telah mengambil alih kendali atas hidupnya. Kalimat yang seringkali muncul adalah “saya tipe orang
yang mudah bad mood”. Orang seperti ini tidak berupaya untuk keluar melepaskan
diri dari suasana hatinya yang buruk. Dan biasanya orang seperti ini sangat
sensitif, mudah marah, mudah untuk larut dalam kesedihan, tergantung
perasaan/emosi apa yang sedang mengendalikan. Jika kita menemukan orang percaya
seperti ini, tugas penggembalaan akan menjadi berat. Untuk itu orang-orang
seperti ini harus diajar untuk membangun kemampuan mengelola emosi.
Tidak ada yang salah dengan emosi karena
emosi adalah netral dan Tuhan menciptakan emosi untuk kita bisa mengekspresikan
perasaan/emosi kita kepada Tuhan dan sesama sehingga kita bukan robot. Berbagai
macam emosi yang kita miliki inilah yang harus dikelola dengan baik, jika tidak
emosi yang awalnya baik menjadi tidak baik. Sebagai contoh emosi kemarahan,
tidak ada yang salah dengan marah karena dengan marah kita bisa mengungkapkan
atau membaca sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak benar atau yang tidak adil.
Tapi bila kita marah tanpa kita kelola dengan baik, maka hal itu akan merusak
diri kita sendiri maupun orang lain. Untuk itu kita harus pintar mengelola
emosi kemarahan dengan : kita harus marah dengan cara yang benar, pada waktu
yang tepat, pada orang yang tepat dan dengan tujuan yang benar. Hal ini juga
termasuk pada pengelolaan emosi-emosi lainnya.
Bagaimana saya memulainya
untuk mengelola emosi saya?
·
Kenali diri kita sendiri.
Banyak orang berkata bahwa dia sudah
kenal siapa dirinya bahkan berkata bahwa identitasnya adalah anak Allah. Hal
ini benar, namun tidak cukup kita hanya cerdas secara spiritual saja namun kita
juga harus cerdas secara emosi. Dalam mengenali diri kita yang perlu
dikembangkan adalah kesadaran diri. Mengenali diri kita termasuk di dalamnya
adalah bagaimana kita memiliki kesadaran
diri dan dalam kesadaran diri emosional inilah kita dibawa untuk mampu
mengenali perasaan kita sewaktu perasaan itu terjadi. Saat kita marah, kita
tetap ada dalam titik sadar, bahwa kita sedang marah dan bisa mengontrol respon
langsung dari kemarahan tersebut.
Kesadaran diri ini akan menolong kita mampu menggali
dan menangani perasaan/emosi kita agar
dapat terungkap dengan pas (sesuai porsinya) tanpa menjadi kemarahan yang
destruktif. Kesadaran diri menolong kita memantau perasaan kita dari waktu ke
waktu sehingga kita memiliki pemahaman diri yang utuh. Kita bisa menjadi tuan
atas semua perasaan/emosi kita dan bukan kebalikannya. Kesadaran diri akan membuat seseorang berpikiran jernih
sehingga mereka bisa membuat keputusan yang tepat, mengetahui batas-batas yang
dia anut, dan tidak terperangkap pada suasana hatinya yang sedang jelek, dia
mampu mengatur emosinya.
Dalam membangun kesadaran diri inilah kita sangat
membutuhkan peranan Roh Kudus untuk menyelidiki hidup kita, menyingkapkan apa
yang masih tersembunyi, bahkan kita sendiri tidak tahu apa yang telah kita
sembunyikan (mungkin luka-luka dari masa lalu kita atau emosi-emosi yang
terpendam di alam bawah sadar kita). Karena emosi yang bergejolak di bawah
ambang kesadaran kita dapat berpengaruh besar terhadap bagaimana kita menyerap
dan bereaksi, meskipun kita tidak mengetahui betul bagaimana emosi bekerja.
Dalam proses dimana Roh Kudus bekerja dengan mengingatkan, menyingkap, mengajar
dan memulihkan kita (Yohanes 14:26), maka kita harus mengijinkan buah-buah Roh
itu mulai muncul dalam diri kita, sehingga proses kedewasaan dan kematangan
diri terbangun bukan saja dari sisi rohani saja tetapi juga emosi yang
berpengaruh pada fisik kita. Ketika emosi tidak dikelola maka perilaku pun akan
tidak terkendali.
Keuntungan
ketika kita bisa mengelola emosi dengan baik:
Ada banyak keuntungan yang bisa kita
nikmati ketika kita dapat mengelola emosi kita dengan baik. Dalam tulisan ini,
hanya diuraiakan 4 keuntungan yang akan kita peroleh ketika kita dapat
mengelola emosi kita:
·
Kita akan bisa berempati dengan orang
lain. Kita akan
mengenali emosi orang lain dan empati inilah yang membuat kita dapat melakukan
hal-hal yang terbaik untuk orang lain. Kita akan mampu membaca dan menangkap
sinyal-sinyal kebutuhan orang lain. Kita akan mampu memahami kondisi orang lain
atau apa yang sedang orang lain rasakan, melalui respon emosi yang matang. Kita
tidak akan menghakimi kejatuhan atau
kegagalan orang lain atau membicarakannya sebagai ‘hot issue’ untuk dikonsumsi
orang banyak. Ketika ini terjadi, pelayanan gereja pastinya akan berkembang,
jemaat akan dewasa/matang tidak hanya pada sisi rohnya saja tapi juga pada sisi
emosinya. Saat jemaat bisa berempati, gereja akan menjadi komunitas orang
percaya yang dapat membaca dan menjawab kebutuhan masyarakat.
·
Kita akan mudah membangun relasi dengan
orang lain. Orang yang
mampu mengelola emosi tidak akan memaksakan kemauannya supaya orang lain
menuruti keinginannya. Beberapa orang menjadi sulit dalam membangun relasi dengan
orang lain, baik di dunia kerja, dalam keluarganya maupun dalam komunitas orang
percaya (gereja). Hal ini terjadi karena mereka cenderung menyakiti/melukai
orang lain. Penyebabnya adalah karena mereka mengalami ketumpulan perasaan dan
mereka mengabaikan apa yang sedang dia rasakan maupun orang lain rasakan. Tidak
sedikit kita jumpai beberapa kasus orang percaya yang suka berpindah-pindah
gereja karena tidak pernah puas bahkan meninggalkan luka hati pada banyak orang
percaya lainnya (meskipun ini bukan satu-satunya alasan), membuat gap/kelompok
eksklusif di gereja, suka meremehkan orang lain/memandang rendah orang lain,
tidak adanya rasa hormat ataupun kehangatan yang bisa diberikan bagi orang
lain, berbicara tanpa dipikir sehingga melukai banyak orang, atau berteriak dan
kehilangan kesabaran, mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain.
· Kita akan mudah untuk bekerja sama dengan
orang lain. Yesus memberikan
nasehat kepada kita “Segala sesuatu yang
kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada
mereka. Itulah isi seluruh hukum taurat dan kitab para nabi.” (Matius 7:12).
Memperlakukan orang lain dengan baik seperti kita juga mengharapkan perlakuan
seperti itu juga, merupakan pedoman terbaik dalam membangun relasi dengan orang
lain. Di sini kita bisa temukan bahwa ada sebuah kerja sama yang dibangun,
harapan yang sama, dan sebuah
harmonisasi yang indah dalam sebuah relasi. Bagi orang yang mampu mengelola
emosinya, untuk bekerja sama dengan orang lain bukanlah suatu hal yang sulit.
Perbedaan bukanlah sebuah hambatan namun sebuah keindahan karena didalam
perbedaanlah praktek kasih benar-benar terwujud. Dalam hal bekerja sama dengan
orang lain, orang yang mampu mengelola emosinya akan menunjukkan bahwa dia
memiliki kemampuan untuk menghormati orang lain. Kemampuan menghormati orang
lain datang dari penghormatan kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, bahwa
orang yang gagal menghormati orang lain, sebenarnya mereka sedang gagal
menghormati dirinya sendiri.
Menghormati dan menghargai diri sendiri dimulai
dari kemampuan mengelola emosinya. Dan dari sikap menghormati dan menghargai
dirinya sendiri, melahirkan sikap yang mau bekerja sama dengan orang lain. Saya
pernah mendengar seorang pendeta berkata, “wah, saya bersyukur, jemaat yang
suka memberontak, susah dipimpin akhirnya keluar dengan sendirinya dari gereja
yang saya gembalakan.” Orang yang suka memberontak, sulit diatur, suka
memaksakan kehendak dan keyakinannya yang paling benar, tidak memberikan
kesempatan orang lain berkembang adalah orang yang tidak mampu mengelola
emosinya dengan baik.
· Menjadi pribadi-pribadi yang sehat dan
unggul. Saat kita mampu
mengelola emosi kita dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan menjadi
cerdas secara emosi. Cerdas secara emosi bukan berarti tidak pernah mengalami
ketakutan, kesedihan, kemarahan, maupun emosi lainnya. Kita bisa mengalami
semua emosi tersebut tapi kita lebih mampu menenangkan diri kita sendiri,
bangkit dari kemurungan dan melanjutkan kegiatan-kegiatan yang produktif. Untuk
itulah orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan memudahkan dirinya
dalam menggali/mengeksplorasi potensi dalam dirinya. Dengan kata lain, melalui
kecerdasan emosi maka seseorang akan tertolong menjadi maksimal dengan hidupnya
dan ini pun tetap di dukung oleh kecerdasan intelektual, spiritual, sosial
maupun kecerdasan lainnya.
Orang yang mengelola emosinya akan mampu melewati
setiap krisis-krisis yang terjadi dalam kehidupannya dengan baik. Dia memiliki
daya juang yang tinggi ketika kesulitan menekan dirinya. Dia tidak akan
terperangkap dalam bentuk-bentuk “pelarian” atau “kecanduan”. Bahkan pada masa
kegagalan sekalipun, dia akan cepat untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya
kembali. Orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik, akan bisa melawan
setiap godaan untuk terlibat dengan narkoba, free sex, bunuh diri, tindakan
anarkis, dll. Mereka juga akan mampu membuat “penundaan atas kepuasan dari
keinginan-keingin mereka”, contoh: mereka akan mampu menolak melakukan hubungan
seks sebelum waktunya. Kalau dia masih anak-anak, dia akan rela menunggu
membeli barang yang diinginkan sampai
orangtuanya memiliki uang untuk membeli.
Melihat dari betapa pentingnya mengelola
emosi, maka sebenarnya orang percaya/umat Tuhan harusnya diajar tentang hal
kecerdasan emosi bukan “hanya” kecerdasan spiritual saja. Melihat kondisi
maupun situasi tahun-tahun yang akan datang semakin sulit, orang-orang percaya
akan dibawa pada pergulatan dalam arena kehidupan mereka, maka kecerdasan emosi
akan ikut memainkan peranan penting dalam hidup mereka selain mereka harus
cerdas secara spiritual, intelektual, dan sosial tentunya.
Referensi:
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence. Jakarta:
Gramedia, 2007
Gottman, John &
DeClaire, Joan.
Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak. Jakarta: Gramedia, 2008.
Patton, Patricia. Kecerdasan Emosional Membangun Hubungan.
Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1998