Selasa, 07 Mei 2013

Mengelola Emosi

MENGELOLA EMOSI



Jika kita menonton berita di telivisi maupun membaca koran, kita akan mendapati setiap hari ada berita kekerasan, entah itu verbal maupun fisik (dari pemukulan sampai pada pembunuhan), ada pula berita tentang tawuran pelajar maupun tawuran antar kelompok masyarakat. Orang menjadi mudah sekali terperangkap pada kemarahan yang tidak terkontrol sehingga melukai orang lain. Kompleksitas persoalan manusia ditopang oleh angka kemiskinan semakin memperkuat orang-orang mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Namun yang menjadi akar persoalannya adalah hilangnya kemampuan manusia dalam mengelola emosinya. Kemampuan ini yang disebut oleh Daniel Goleman sebagai kecerdasan  emosi, dimana seseorang mampu mengelola emosinya dengan baik. 
Orang-orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik menurut Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, akan terlihat dengan ciri-ciri: memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa.[1]
Saya berpikir bahwa  ini adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat hari ini, untuk menjadi cerdas  secara emosi bukan hanya cerdas secara spiritual maupun secara intelektual. Karena tanpa memiliki kemampuan mengelola emosi, seseorang yang pintar/cerdas sekalipun akan terlihat menjadi bodoh ketika terperangkap dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak. Kecerdasan akademis sedikit sekali kaitannya dengan  kehidupan emosional.
Dalam hal ini kemampuan mengelola emosi perlu juga dimiliki oleh para hamba Tuhan/pendeta termasuk kepada jemaat  yang dipimpinnya. Mengapa? Karena dalam pelayanan, para hamba Tuhan/pendeta sama halnya dengan jemaat, menghadapi persoalan-persoalan yang berat dalam pelayanan. Para hamba Tuhan harus menampung persoalan-persoalan jemaat dan menolong jemaat untuk keluar dari permasalahan mereka, beban pelayanan pun menuntut waktu, tenaga dan pikiran cukup banyak. Selain itu hamba Tuhan harus memanage gereja dengan visi yang harus direalisasikan, belum lagi harus menyediakan waktu untuk keluarganya. Disinilah kemampuan mengelola emosi sangat dibutuhkan. Ketika seorang hamba Tuhan tidak mampu mengelola emosinya, maka kita akan mendapati seorang hamba Tuhan yang dikenal dengan “Pendeta yang suka marah-marah atau mudah meledak”, “hamba Tuhan yang mudah tersinggung”, “hamba Tuhan yang ringan tangan dan suka untuk memaki orang lain di depan orang banyak”, “hamba Tuhan yang ngambek”, “hamba Tuhan yang suka memukul meja atau berteriak saat rapat gereja atau rapat sinode (karena ketidakpuasan)” dan mungkin perilaku-perilaku impulsif yang lain. Sehingga tanpa kita sadari kita memasang label pada diri kita sendiri sehingga orang lain “memaklumi” dan tak jarang sedikit orang yang mau mendekat/bergaul.
Dalam pelayanan penggembalaan, seringkali menjumpai model/tipe jemaat, dan menariknya ada orang dengan model yang selalu dirudung masalah dan mereka sepertinya tidak mau keluar dari masalahnya. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang tenggelam dalam permasalahannya sendiri dan seringkali mereka dikuasai atau dikendalikan oleh emosinya. Suasana hatinya telah mengambil alih kendali atas hidupnya. Kalimat  yang seringkali muncul adalah “saya tipe orang yang mudah bad mood”. Orang seperti ini tidak berupaya untuk keluar melepaskan diri dari suasana hatinya yang buruk. Dan biasanya orang seperti ini sangat sensitif, mudah marah, mudah untuk larut dalam kesedihan, tergantung perasaan/emosi apa yang sedang mengendalikan. Jika kita menemukan orang percaya seperti ini, tugas penggembalaan akan menjadi berat. Untuk itu orang-orang seperti ini harus diajar untuk membangun kemampuan mengelola emosi. 
Tidak ada yang salah dengan emosi karena emosi adalah netral dan Tuhan menciptakan emosi untuk kita bisa mengekspresikan perasaan/emosi kita kepada Tuhan dan sesama sehingga kita bukan robot. Berbagai macam emosi yang kita miliki inilah yang harus dikelola dengan baik, jika tidak emosi yang awalnya baik menjadi tidak baik. Sebagai contoh emosi kemarahan, tidak ada yang salah dengan marah karena dengan marah kita bisa mengungkapkan atau membaca sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak benar atau yang tidak adil. Tapi bila kita marah tanpa kita kelola dengan baik, maka hal itu akan merusak diri kita sendiri maupun orang lain. Untuk itu kita harus pintar mengelola emosi kemarahan dengan : kita harus marah dengan cara yang benar, pada waktu yang tepat, pada orang yang tepat dan dengan tujuan yang benar. Hal ini juga termasuk pada pengelolaan emosi-emosi lainnya.
Bagaimana saya memulainya untuk mengelola emosi saya?
·      Kenali diri kita sendiri.
Banyak orang berkata bahwa dia sudah kenal siapa dirinya bahkan berkata bahwa identitasnya adalah anak Allah. Hal ini benar, namun tidak cukup kita hanya cerdas secara spiritual saja namun kita juga harus cerdas secara emosi. Dalam mengenali diri kita yang perlu dikembangkan adalah kesadaran diri. Mengenali diri kita termasuk di dalamnya adalah bagaimana kita  memiliki kesadaran diri dan dalam kesadaran diri emosional inilah kita dibawa untuk mampu mengenali perasaan kita sewaktu perasaan itu terjadi. Saat kita marah, kita tetap ada dalam titik sadar, bahwa kita sedang marah dan bisa mengontrol respon langsung dari kemarahan tersebut.   
Kesadaran diri ini akan menolong kita mampu menggali dan menangani perasaan/emosi  kita agar dapat terungkap dengan pas (sesuai porsinya) tanpa menjadi kemarahan yang destruktif. Kesadaran diri menolong kita memantau perasaan kita dari waktu ke waktu sehingga kita memiliki pemahaman diri yang utuh. Kita bisa menjadi tuan atas semua perasaan/emosi kita dan bukan kebalikannya. Kesadaran diri  akan membuat seseorang berpikiran jernih sehingga mereka bisa membuat keputusan yang tepat, mengetahui batas-batas yang dia anut, dan tidak terperangkap pada suasana hatinya yang sedang jelek, dia mampu mengatur emosinya. 
Dalam membangun kesadaran diri inilah kita sangat membutuhkan peranan Roh Kudus untuk menyelidiki hidup kita, menyingkapkan apa yang masih tersembunyi, bahkan kita sendiri tidak tahu apa yang telah kita sembunyikan (mungkin luka-luka dari masa lalu kita atau emosi-emosi yang terpendam di alam bawah sadar kita). Karena emosi yang bergejolak di bawah ambang kesadaran kita dapat berpengaruh besar terhadap bagaimana kita menyerap dan bereaksi, meskipun kita tidak mengetahui betul bagaimana emosi bekerja. Dalam proses dimana Roh Kudus bekerja dengan mengingatkan, menyingkap, mengajar dan memulihkan kita (Yohanes 14:26), maka kita harus mengijinkan buah-buah Roh itu mulai muncul dalam diri kita, sehingga proses kedewasaan dan kematangan diri terbangun bukan saja dari sisi rohani saja tetapi juga emosi yang berpengaruh pada fisik kita. Ketika emosi tidak dikelola maka perilaku pun akan tidak terkendali.
Keuntungan ketika kita bisa mengelola emosi dengan baik:
Ada banyak keuntungan yang bisa kita nikmati ketika kita dapat mengelola emosi kita dengan baik. Dalam tulisan ini, hanya diuraiakan 4 keuntungan yang akan kita peroleh ketika kita dapat mengelola emosi kita:
·      Kita akan bisa berempati dengan orang lain. Kita akan mengenali emosi orang lain dan empati inilah yang membuat kita dapat melakukan hal-hal yang terbaik untuk orang lain. Kita akan mampu membaca dan menangkap sinyal-sinyal kebutuhan orang lain. Kita akan mampu memahami kondisi orang lain atau apa yang sedang orang lain rasakan, melalui respon emosi yang matang. Kita  tidak akan menghakimi kejatuhan atau kegagalan orang lain atau membicarakannya sebagai ‘hot issue’ untuk dikonsumsi orang banyak. Ketika ini terjadi, pelayanan gereja pastinya akan berkembang, jemaat akan dewasa/matang tidak hanya pada sisi rohnya saja tapi juga pada sisi emosinya. Saat jemaat bisa berempati, gereja akan menjadi komunitas orang percaya yang dapat membaca dan menjawab kebutuhan masyarakat. 
·      Kita akan mudah membangun relasi dengan orang lain. Orang yang mampu mengelola emosi tidak akan memaksakan kemauannya supaya orang lain menuruti keinginannya. Beberapa orang menjadi sulit dalam membangun relasi dengan orang lain, baik di dunia kerja, dalam keluarganya maupun dalam komunitas orang percaya (gereja). Hal ini terjadi karena mereka cenderung menyakiti/melukai orang lain. Penyebabnya adalah karena mereka mengalami ketumpulan perasaan dan mereka mengabaikan apa yang sedang dia rasakan maupun orang lain rasakan. Tidak sedikit kita jumpai beberapa kasus orang percaya yang suka berpindah-pindah gereja karena tidak pernah puas bahkan meninggalkan luka hati pada banyak orang percaya lainnya (meskipun ini bukan satu-satunya alasan), membuat gap/kelompok eksklusif di gereja, suka meremehkan orang lain/memandang rendah orang lain, tidak adanya rasa hormat ataupun kehangatan yang bisa diberikan bagi orang lain, berbicara tanpa dipikir sehingga melukai banyak orang, atau berteriak dan kehilangan kesabaran, mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain.
·    Kita akan mudah untuk bekerja sama dengan orang lain. Yesus memberikan nasehat kepada kita “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum taurat dan kitab para nabi.” (Matius 7:12). Memperlakukan orang lain dengan baik seperti kita juga mengharapkan perlakuan seperti itu juga, merupakan pedoman terbaik dalam membangun relasi dengan orang lain. Di sini kita bisa temukan bahwa ada sebuah kerja sama yang dibangun, harapan yang sama,  dan sebuah harmonisasi yang indah dalam sebuah relasi. Bagi orang yang mampu mengelola emosinya, untuk bekerja sama dengan orang lain bukanlah suatu hal yang sulit. Perbedaan bukanlah sebuah hambatan namun sebuah keindahan karena didalam perbedaanlah praktek kasih benar-benar terwujud. Dalam hal bekerja sama dengan orang lain, orang yang mampu mengelola emosinya akan menunjukkan bahwa dia memiliki kemampuan untuk menghormati orang lain. Kemampuan menghormati orang lain datang dari penghormatan kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain, bahwa orang yang gagal menghormati orang lain, sebenarnya mereka sedang gagal menghormati dirinya sendiri. 
    Menghormati dan menghargai diri sendiri dimulai dari kemampuan mengelola emosinya. Dan dari sikap menghormati dan menghargai dirinya sendiri, melahirkan sikap yang mau bekerja sama dengan orang lain. Saya pernah mendengar seorang pendeta berkata, “wah, saya bersyukur, jemaat yang suka memberontak, susah dipimpin akhirnya keluar dengan sendirinya dari gereja yang saya gembalakan.” Orang yang suka memberontak, sulit diatur, suka memaksakan kehendak dan keyakinannya yang paling benar, tidak memberikan kesempatan orang lain berkembang adalah orang yang tidak mampu mengelola emosinya dengan baik.
·     Menjadi pribadi-pribadi yang sehat dan unggul. Saat kita mampu mengelola emosi kita dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan menjadi cerdas secara emosi. Cerdas secara emosi bukan berarti tidak pernah mengalami ketakutan, kesedihan, kemarahan, maupun emosi lainnya. Kita bisa mengalami semua emosi tersebut tapi kita lebih mampu menenangkan diri kita sendiri, bangkit dari kemurungan dan melanjutkan kegiatan-kegiatan yang produktif. Untuk itulah orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan memudahkan dirinya dalam menggali/mengeksplorasi potensi dalam dirinya. Dengan kata lain, melalui kecerdasan emosi maka seseorang akan tertolong menjadi maksimal dengan hidupnya dan ini pun tetap di dukung oleh kecerdasan intelektual, spiritual, sosial maupun kecerdasan lainnya. 
   Orang yang mengelola emosinya akan mampu melewati setiap krisis-krisis yang terjadi dalam kehidupannya dengan baik. Dia memiliki daya juang yang tinggi ketika kesulitan menekan dirinya. Dia tidak akan terperangkap dalam bentuk-bentuk “pelarian” atau “kecanduan”. Bahkan pada masa kegagalan sekalipun, dia akan cepat untuk bangkit dan melanjutkan hidupnya kembali. Orang yang mampu mengelola emosinya dengan baik, akan bisa melawan setiap godaan untuk terlibat dengan narkoba, free sex, bunuh diri, tindakan anarkis, dll. Mereka juga akan mampu membuat “penundaan atas kepuasan dari keinginan-keingin mereka”, contoh: mereka akan mampu menolak melakukan hubungan seks sebelum waktunya. Kalau dia masih anak-anak, dia akan rela menunggu membeli  barang yang diinginkan sampai orangtuanya  memiliki uang untuk membeli. 
Melihat dari betapa pentingnya mengelola emosi, maka sebenarnya orang percaya/umat Tuhan harusnya diajar tentang hal kecerdasan emosi bukan “hanya” kecerdasan spiritual saja. Melihat kondisi maupun situasi tahun-tahun yang akan datang semakin sulit, orang-orang percaya akan dibawa pada pergulatan dalam arena kehidupan mereka, maka kecerdasan emosi akan ikut memainkan peranan penting dalam hidup mereka selain mereka harus cerdas secara spiritual, intelektual, dan sosial tentunya.
Referensi:
Goleman, Daniel. Emotional Intelligence. Jakarta: Gramedia, 2007
Gottman, John & DeClaire, Joan. Mengembangkan Kecerdasan Emosi Anak. Jakarta: Gramedia, 2008.
Patton, Patricia. Kecerdasan Emosional Membangun Hubungan. Jakarta: Pustaka Delapratasa, 1998


Tidak ada komentar:

Posting Komentar